PRIBUMISASI ISLAM *
Abdurrahman Wahid
Islam,
Budaya dan Pribumisasi
Agama
(Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya
mempunyai wilayah tumpang tindih. Bisa dibandingkan dengan independensi antara
filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak bisa berfilsafat tanpa ilmu
pengetahuan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah
filsafat. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan sekaligus
perbedaan-perbedaan.
Agama
(Islam) bersumberkan wahyu dan memiliki norma-normanya sendiri. Karena bersifat
normatif, maka ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah buatan
manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung
untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi
kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Maka muncullah tari 'seudati', cara
hidup santri, budaya menghormati kyai dan sebagainya, dengan wawasan budaya
dari agama secara langsung diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat tanpa
mempersoalkan dalilnya. Umat Islam abangan yang menjauhi 'ma lima'
(mabuk, berjudi, mencuri, berbuat amoral, mengisap ganja) belum tentu dengan
alasan keagamaan tetapi sangat boleh jadi karena alasan-alasan budaya, misalnya
ketaatan kepada kyai atau orang tua.
Tumpang
tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus sebagai suatu proses
yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi
budaya akan memungkinkan adanya persambungan antara berbagai kelompok atas
dasar persamaan-persamaan, baik persamaan agama maupun budaya. Upaya
rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan karena kekhawatiran terjadinya
ketegangan antara keduanya, sebab kalau manusia dibiarkan pada fitrah
rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya. Sebagai contoh
adalah redanya semangat ulama dalam mempersoalkan rambut gondrong. Jika sebuah
stadion sebaiknya mempunyai mushalla, meskipun kecil, bukan berarti untuk
mencegah tabrakan antara shalat dengan sepak bola, akan tetapi karena pada
kenyataannya pertandingan sepak bola hampir selalu diadakan ketika waktu shalat
Asar masuk. Jadi akomodasi ini bukan dilakukan karena terpaksa akan tetapi
adalah sesuatu yang timbul secara alami, menandai terjadinya proses
pribumisasi.
Masjid
Demak adalah sebuah contoh yang konkret dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi
itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masjid tersebut diambilkan dari
konsep 'Meru' dari masa pra-Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan
susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, melambangkan tiga
tahap keberagamaan seorang muslim, iman, islam dan ihsan. Pada mulanya
orang baru beriman saja, kemudian ia melaksanakan islam ketika telah menyadari
pentingnya syari'at. Barulah ia mamasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan)
dengan mendalami tasawuf, hakekat dan ma'rifat. Pada tingkat ini mulai disadari
bahwa keyakinan tauhid dan ketaatan kepada syari'at mesti berwujud kecintaan
kepada sesama manusia. Mengasihi diri sendiri dengan melepaskan kecintaan
kepada materi dan menggantinya dengan kecintaan kepada Allah adalah bentuk rasa
kasih yang tertinggi. Pada tahap berikutnya, datanglah bentuk masjid ala Timur
Tengah, dengan bentuk kubah dan segala ornamennya. Terjadilah kemudian proses
arabisasi, meskipun pada mulanya bentuk masjid baru ini ditolak oleh Masjid
Ngampel dan Pakojan. Bentuk kubah lambat laun menjadi sesuatu yang normatif dan
harus. Sedangkan semangat pribumisasi menganggap kedua model ini sama saja.
Bahaya dari
proses Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur
Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu,
arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya
menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan
tetapi justru agar budaya ini tidak hilang. Inti pribumisasi Islam adalah
kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab
polarisasi demikian memang tak terhindarkan.
Sebagai
titik tolak dari upaya rekonsiliasi ini adalah meminta agar wahyu difahami
dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan
rasa keadilannya. Dalam proses ini pembauran Islam dengan budaya tidak boleh
terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap
pada sifat Islamnya. Al-Qur'an adalah harus tetap dalam bahasa Arab, terutama
dalam shalat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang terjemahan al-Qur'an
hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan al-Qur'an
sendiri.
Pribumisasi
Islam bukanlah 'jawanisasi' atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum
agama, tanpa menambah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma
demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari
budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash,
dengan tetap memberikan peranan kepada Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh. Sedangkan
sinkretisme adalah usaha memadukan teologia atau sistem kepercayaan lama
tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi
eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membuat bentuk panteisme. Sinkretisme
hal ini bisa dicontohkan dengan kuil 1000 dewa di India, Iran dan Timur Tengah zaman
dahulu. Setiap penjajah yang masuk menambahkan tuhan yang baru untuk disembah
bersama-sama dengan tuhan-tuhan yang lama. Pada suatu tahap akhirnya manusia
pun dipertuhan dan bahkan pula malaikat (seperti pada agama Kong Hu cu).
Malaikat bisa didekati agar melakukan intervensi terhadap kekuasaan tuhan,
sehingga ia pun lebih berkuasa dari tuhan sendiri.
Pribumisasi
Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri
lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah ini membentuk sebuah sungai besar yang
terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai
ini semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang
menambah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai
ini mungkin terkena 'limbah industri' yang sangat kotor. Tapi toh, tetap
merupakan sungai yang sama dan air yang lama. Maksud dari perumpamaan ini
adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah merubah Islam,
melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.
Sebagai
contoh, pada mulanya ditetapkan haramnya berjabatan tangan antara laki-laki dan
perempuan yang ajnabi. Ketentuan ini merupakan bagian dari keseluruhan
perilaku atau akhlak orang Islam. Ketika ketentuan ini masuk ke Indonesia,
masyarakatnya telah memiliki berbagai kebudayaan. Misalnya, adat Sunda
mempunyai jabatan tangan 'ujung jari'. Setelah berjalan sekian abad, masuk pula
budaya Barat dengan jabatan tangannya yang tegas dan tak pilih-pilih. Hasilnya
di masyarakat Islam saat ini adalah
sebagian mereka, termasuk para birokrat dalam bidang agama dan para
pemimpin organisasi, melakukan jabatan tangan dengan lawan jenis, sedang para
Kyai yang hidup dengan fiqh secara tuntas tetap bertahan untuk tidak
melakukannya.
Lalu apakah
dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Islam telah mengalami erosi di
Indonesia? Jawabnya adalah 'tidak', sebab Islam sebagai sebuah totalitas tetap
berjalan seperti sedia kala. Karena para pemeluknya tetap melakukan shalat,
pergi ke masjid, membayar zakat, pergi ke madrasah dan sebagainya. Dengan kata
lain, secara kultural kita melihat adanya perubahan pada partikel-partikel dan
tidak pada aliran besarnya. Umat Islam tetap melihat berpacaran bebas model
Barat sebagai tidak Islami dan berusaha agar anak-anak mereka tidak
melakukannya.
Fiqh dan
Adat
Di dalam
Ilmu Ushul Fiqh dikenal kaidah al 'adah muhakkamah (adat istiadat bisa
menjadi hukum). Di Indonesia telah lama terjadi bahwa pembagian waris antara
suami-istri mendapatkan masukan berupa dua model yang berasal dari adat, yaitu adat
perpantangan di Banjarmasin dan gono gini di Yogyakarta-Solo yang
pada perkembangannya juga menyebar di Jawa Timur. Keduanya adalah respon
masyarakat adat yang berada di luar lingkup pengaruh kyai terhadap ketentuan nash
dengan pemahaman lama yang merupakan pegangan para kyai itu. Harta rumah tangga
dianggap sebagai perolehan suami-istri secara bersama-sama, yang karenanya
mesti dipisahkan dulu sebelum diwariskan, ketika salah satu suami/istri
meninggal. Separoh dari harta itulah yang dibagi kepada para ahli waris menurut
hukum waris Islam, sedang separoh lainnya adalah milik dari suami/istri yang
masih hidup. Teknik demikian adalah perubahan mendasar terhadap hukum waris,
dan bentuk-bentuk penyesuaian seperti ini berjalan sementara para ulama
merestuinya, walaupun (seraya) tidak menganggapnya sebagai cara pemecahan
utama. Sebab pemecahan utama justru adalah yang seperti ditentukan oleh syara'
secara apa adanya. Letak kemajuannya adalah bahwa penyesuaian-penyesuaian
seperti ini bukan hanya tidak diharamkan tetapi bahkan dianggap sebagai adnal
qaulaini (pendapat dengan mutu nomor dua) dan tidak dipersoalkan sebagai sesuatu
yang mengganggu prinsip.
Dalam
kaitannya dengan pernikahan misalnya, sebenarnya rukun bagi sahnya
hubungan suami istri sangat sedikit, yaitu ijab, qabul, saksi dan wali. Sedang
selebihnya diserahkan kepada adat, misalnya tentang pelaksanaan upacara peresmiannya.
Di sini adat berperan sebagai penghubung pola-pola perilaku baru dengan tetap
berpijak kepada aturah normatif dari agama. Pola hubungan agama dan adat
seperti ini sehat sekali. Bahwa pakaian pengantin Jawa menampakkan bagian bahu
mempelai wanita, orang Islam tidak memandang hal itu sama rusaknya dengan zina,
durhaka kepada orang tua dan kejahatan-kejahatan berat lainnya. Kekurangan
seperti itu umumnya bisa dimaklumi sebagai bagian dari adat, selama
syarat-syarat keagamaan dari nikah dan pengaturan hubungan selanjutnya, seperti
soal nafkah dan kewajiban-kewajiban rumah tangga; masih datur secara Islam
Sedangkan manifestasi kulturalnya diserahkan kepada adat. Hal ini sudah
berjalan beberapa abad dan memang selalu ada perubahan-perubahan tanpa banyak
menimbulkan reaksi karena berjalan secara sendiri-sendiri, Pola hubungan ini
ditampung dalam al 'adah muhakkamah, sehingga adat istiadat bisa
disantuni tanpa mengurangi sahnya perkawinan.
Akan tetapi
harus disadari bahwa penyesuaian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya
diperkenankan sepanjang menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah, ayah
angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya Ketentuan ini adalah norma
agama, bukan kebiasaan. Ini jelas berbeda dengan cara penempatan siswa di sekolah-sekolah
Timur Tengah. Di sana, siswa laki-laki dan perempuan tingkat SD, SMP dan SMA
ditempatkan di ruangan terpisah dan baru boleh disatukan di tingkat perguruan
tinggi. Keputusan ini didasarkan atas anggapan bahwa para remaja umumnya kurang
memiliki pertimbangan dan sangat dipengaruhi nafsu. Kelemahan-kelemahan ini
telah bisa diatasi oleh mereka yang telah mengalami kedewasaan dan kematangan,
yaitu pada usia memasuki perguruan tinggi. Cara ini bukanlah ketentuan agama,
tapi logika agama, yaitu campuran hukum agama dan logika. Dari sini bisa muncul
adat istiadat, dan adat pengaturan penempatan siswa seperti itu memang lalu
mengeras di Timur Tengah. Sebaliknya di Indohesia, ulama melihat dari sudut
Iain, yaitu bahwa tidak ada tempat yang lebih aman daripada sekolah, meskipun
belum sama sekali memadai. Sehingga para ulama memperbolehkan dimasukinya
sekolah, meskipun siswa dan siswi duduk dalam satu kelas (ko edukasi).
Mengembangkan
Aplikasi Nash
Karena
adanya prinsip-prinsip yang keras dari Hukum Islam, maka adat tidak bisa
merubah nash itu sendiri melainkan hanya merubah atau mengembangkan aplikasinya
saja, dan memang aplikasi itu akan berubah dengan sendirinya. Misalnya, Nabi
tidak pernah menetapkan beras sebagai benda zakat, melainkan gandum. Lalu ulama
yang mendefinisikan gandum sebagai qutul balad, makanan pokok. Dan
karena definisi itulah, gandum berubah menjadi beras untuk Indonesia.
Kasus lain
yang kontemporer dari pengembangan aplikasi nash ini adalah pemahaman
ayaf al-Qur'an tentang bolehnya menikah dengan maksimal empat wanita dan kalau
tidak bisa menegakkan keadilan, wajib hanya menikah dengan seorang wanita saja
(Q.S. 4:3). Pada mulanya keadilan ini diukur dengan keseimbangan jatah giliran
menginap dan nafkah. yang berarti hak menambah jumlah istri adalah mutlak di
tangan suami. Akan tetapi sekarang sudah terasa perlunya mempertanyakan
"mengapa begitu simplistiknya konsep keadilan itu, bagaikan Islam
menghargai wanita hanya dengan ukuran-ukuran biologis. Semakin terdengar
kebutuhan untuk mengembangkan pemahaman terhadap nash itu menjadi
keadilan yang dirasakan oleh obyek dari tindakan poligini (permaduan) itu, di
mana laki-laki dan wanita sama-sama didudukkan sebagai subyek hukum. Sebab
pelaksanaan poligini saat ini selalu dirasakan oleh kaum wanita sebagai tidak
adil, kecuali dalam keadaan yang ekstrim dan langka. Dengan demikian, jika
tadinya wanita hanya menjadi obyek pasif yang tidak ikut menentukan, sehingga
secara umum dihukumi menerima permaduan, maka dengan tampilnya wanita sebagai
subyek, secara umum mereka dihukun menolak. Dengan rumusan singkat, pemahaman
nash itu menjadi "kawini' seorang wanita saja, dan perkawinan kedua dan
seterusnya hanya bisa dilaksanakan jika ada keperluan yang bisa disetujui oleh
istri". Dan inilah yang telah dirumuskan di dalam Undang-undang Perkawinan
Indonesia No. 1 tahun 1974. Tampaklah dalam kasus ini, perubahan pemahaman
menjadi sesuatu yang tak terelakkan, dengan melihat bahwa para ulama menerima
penyantuman pemahaman seperti itu di dalam Undang-undang.
Masalahnya
sekarang adalah bagaimana mempercepat pengembangan pemahaman nash seperti itu
dan agar berjalan lebih sistematik lagi, dengan cakupan yang lebih luas dan
argumentasi yang lebih matang. Kalau keinginan ini terlaksana, maka inilah yang
dimaksudkan dengan pribumisasi Islam, yaitu pemahaman terhadap nash
dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita.
Sebuah
kasus di Mesir pada tahun 1930-an, ketika Dewan Ulama Tertinggi al- Azhar
memutuskan bahwa guna menghilangkan selisih yang banyak antara bagian ahli
waris wanita dan pria akibat adanya ketentuan ‘’bagian laki-laki adalah dua
kali lipat bagian wanita’’, maka digunakan apa yang dinamakan ‘washiyah
wajibah’. Konsep washiyah wajibah (wasiat wajib) ini menganggap
seakan-akan almarhum telah berwasiat. Jumlah maksimal wasiat yang diperkenankan
(sepertiga dari harta peninggalan) diambil terlebih dahulu untuk dibagikan
secara merata kepada ahli waris. Barulah sisanya, dua pertiga, dibagi menurut
ketentuan nash, yaitu dua berbanding satu untuk laki-laki.
Kenyataan
bahwa modifikasi-modifikasi seperti itu ditolerir oleh para ulama dan sampai
saat ini tetap berlaku menunjukkan vitalitas Islam, artinya adanya kelenturan
yang tidak sampai meninggalkan pegangan dasar. Cara aplikasi semacam ini bisa
banyak dilakukan dalam fiqh.
Sebagai
contoh di dalam sebuah musyawarah ulama
terbatas muncul soal sterilisasi. Pertanyaan mendasar pun muncul tentang
pemilik hak menciptakan anak, Tuhankah atau manusia Jawaban yang diberikan
adalah bahwa hak menciptakan anak dan meniupkan ruh dalam rahim adalah milik
Tuhan, sebagai tanda kekuasaan-Nya. Karena itu semua bentuk intervensi terhadap
hak ini, yaitu dalam bentuk menghilangkan kemampuan seorang ibu untuk
melahirkan, berarti melanggar wewenang Tuhan. Dengan demikian mafhum mukhalafah
(implikasi kebalikannya) adalah diperbolehkanya pembatasan kelahiran dengan
cara membuat sterilisasi yang tidak permanen. Dengan demikian pula,
melaksanakan vasektomi yang oleh dokter dijamin akan bisa dipulihkan kembali,
tanpa mempersoalkan prosentase jaminan itu, hukumnya diperbolehkan. Misalnya
dengan pemakaian Cincin Jung yang bisa dilepas kembali. Kepada seoarang
ulama sepuh diterangkan bahwa menurut kalangan medis, kemungkinan kepulihan itu
baru sekiatar 30 persen. Ulama itu
menjawab bahwa asal pada prinsipnya bisa pulih, maka besar kecilnya kemungkinan
itu tidak menjadi soal, terserah kepada kehendak Allah.
Sebuah
hadis Nabi memerintahkan umat beliau agar memperbanyak pernikahan dan
kelahiran, karena di hari kiamat beliau akan membanggakan mereka di hadapan
Nabi-nabi yang lain. Pada mulanya, kata “banyak” dipahami sebagai jumlah,
karena itu memang zaman penuh kesulitan dalam memelihara anak. Dengan tingginya
angka kematian anak, maka ada kekhawatiran bahwa jumlah umat Islam akan
dikalahkan oleh jumlah umat yang lain. Akan tetapi alasan demikian pada saat
ini tidak bisa dipertahankan lagi, ketika penonjolan kuantitas sudah tidak
dibutuhkan. Jumalah anak yang terlalu banyak justru akan menimbulkan bahaya,
ketika kemampuan masyarakat untuk menampung mereka ternyata tidak memadahi.
Maka terjadilah perubahan, ukuran-ukuran itu dititik beratkan pada kualitas.
Perubahan pemahaman seperti ini membawa kepada rumusan pemahaman nash
yang baru, "Kawinlah akan tetapi jangan terlalu banyak anak dan aturlah jumlah
keluarga anda".
Konsekuensi
lebih jauh dari perubahan pemahaman ini dapat menyangkut soal usia perkawinan.
Perintah memperbanyak anak tentulah bermakna pula perintah untuk segera
menikah. Apalagi ternyata ada hadis yang memerintahkan para pemuda untuk segera
melangsungkan perkawinan agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan amoral. Akan
tetapi tinjauan lalu dikembalikan kepada konteks semula, bahwa hadis itu
disabdakan pada waktu tingkat kematian bayi sangat tinggi dan angka harapan
hidup sangat rendah. Dengan kawin muda, maka kesempatan untuk membesarkan anak
lebih lama. Jadi hadis ini sesuai dengan tanggung jawab berkeluarga pada waktu
itu. Situasi telah berubah. Pada saat ini pemuda yang berusia 15 tahun tentu
belum mampu memenuhi kebutuhan bagi sebuah perkawinan dan konsekuensi hukumnya.
Situasi lapangan pekerjaan sudah tidak sesederhana dulu, karena saat ini untuk
memasuki pasaran kerja memerlukan persyaratan yang kompleks. Dengan demikian,
tuntutan kualitas sebagai hasil dari perubahan pemahaman nash
menghendaki pula perubahan batas terendah usia perkawinan. Maka Undang-undang
Perkawinan pun menetapkan umur 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahuh untuk
wanita, sambil tidak menutup kemungkinan bahwa batas usia terendah ini bisa
dinaikkan, menurut keperluan. Batas ini ternyata tidak ditentang ulama.
Sejumlah
kaidah fiqh pun ikut terlibat. Dalam kasus tersebut jelas telah dipergunakan
kaidah dar’ul mafasid muqaddam 'ala jalbil-mashalih (menutup kemungkinan
bahaya harus didahulukan sebelum upaya memperoleh kemaslahatan). Memang lebih
baik seorang pemuda segera menikah daripada terjerumus kepada perbuatan
a-moral. Perkawinan akan membuat dirinya sadar tentang arti hidup. Akan tetapi
perkawinan pada usia ini juga mengandung bahaya yang besar, karena penanggung
jawab anak hasil perkawinan akan tidak jelas, di saat lingkup tanggung jawab
keluarga modern akan semakin kecil. Misalnya tak ada lagi kepala suku atau
kepala klan yang mengurusi soal-soal bersama. Bahaya inilah yang harus dicegah
terlebih dahulu sebelum upaya menuju kebaikan, yaitu maslahat berkeluarga.
Lebih jauh
lagi adalah dalil al-hajah tanzilu manzilah al-dlarurah (ke-butuhan
setara dengan keadaan darurat), sedangkan dalil lain berbunyi adl-dlarurah tubihul-mahdhurah
(keadaan darurat memungkinkan dihalalkannya dilarang). Dengan demikian,
gabungan dari dua dalil ini akan membentuk kesimpulan bahwa hajah
(keadaan membutuhkan) bisa menghalalkan yang haram; karena faktor kebutuhan
setara dengan keadaan darurat. Musyawarah ulama terbatas tadi menyimpulkan
adanya kebutuhan meningkatkan batas usia terendah bagi perkawinan, mencegah
kelahiran dini dan secara makro mengatur keseimbangan antara penduduk dengan
sumberdaya alam. Yang dibutuhkan bukanlah asal kelangsungan hidup masyarakaf
terjamin tapi dengan mengorbankan banyak hal, termasuk soal pendidikan, ketika
misalnya semua biaya dicurahkan untuk penyediaan lapangan kerja.
Dengan kata
lain, ledakan penduduk menimbulkan hajah. Kalau demikian timbullah
pertanyaan tentang wewenang merumuskan hajah tersebut ketika menyangkut
soal-soal makro. Ternyata musyawarah terbatas tersebut memutuskan bahwa
kebolehan sterilisasi yang bisa dipulihkan kembali bisa diputuskan oleh tim
yang terdiri dari para ahli dari berbagai bidang: ahli demografi, ekonomi,
fiqh, psikologi dan dokter medis. Rumusan ini jelaslah merupakan perubahan
besar dalam konsep-konsep dasar fiqh. Hal-hal seperti ini harus disadari
sebagai proses budaya menuju pengembangan implikasi atau konotasi hukum dan
nash untuk membentuk hukum baru, suatu kebutuhan untuk menghadapi kemungkinan
munculnya pertimbangan-pertimbangan terbaru yang tampak menggugat pemahaman
lama. Dalam soal bank misalnya, tidak kurang dari seorang alim semacam Dr.
Yusuf Al Qardlawi menempatkan bahwa larangan terhadap riba disebabkan oleh
berlebihannya pengembalian hutang (adl'afan mudla'afah) dalam jumlah
yang merugikan peminjam. Kerugian ini sampai menutup kemungkinan produktivitas
akibat beban bunga hutang, sebagaimana
praktek rentenir. Adapun bunga bank (interest) yang dimaksudkan sebagai
biaya administrasi dan sekedar untuk pengembalian modal kepada penanam uang
bisa ditolerir selama tidak mengganggu produksi. Dengan kata lain, keuntungan
yang diperkirakan dari pengusahaan uang pinjaman itu lebih besar daripada
tingkat suku bunga yang harus dibayarkan, sehingga tidak ada unsur eksploitasi.
Pendekatan
Sosio-Kultural
Ada sebuah
soal yang sangat penting setelah pembicaraan seputar soal pemahaman nash
di atas, yaitu pendekatan sosio-kultural. Sosial-budaya adalah perkembangan
budaya dalam konteks kemasyarakatan. Saat ini masyarakat Indonesia sedang
mengalami transisi dari masyarakat feodal/agraris menuju masyarakat modern.
Perkembangan yang terjadi ternyata bersifat dualistik; di satu pihak telah
tercapai modernitas, termasuk upaya menciptakan infra-struktur ekonomi, dan
perilaku di segaia bidang telah lebih rasional, sampai terkadang dengan
mengorbankan norma-norma agama, tetapi di pihak lain perilaku feodal masih
dipergunakan sebagai alat untuk mencari akar ke masa lampau. Dalam situasi
perkembangan dualistik menuju modernitas (keadaan sarwa-modern) ini, maka hukum
Islam akan berfungsi dengan baik apabila ia dikaitkan dengan perubahan pada struktur masyarakat itu
sendiri.
Dengan
demikian, sasaran perubahan itu bukanlah pada sistem pemerintahan atau sistem
politik, akan tetapi pada sub-sub sistemnya. Misalnya, tanpa mempersoalkan
'sistem' ekonomi Indonesia yang tak jelas bentuknya ini, diambillah
langkah-langkah untuk mencari model-model ideal dari pengorganisasian koperasi,
suatu bentuk usaha yang ide dasarnya dipercayai bisa menjembatani antara sistem kapitalis dan sistem sosialis.
Misalnya dengan mencobakan bentuk-bentuk usaha bersama yang pada masa lalu
sebenarnya-banyak dilakukan. Sementara itu, perubahan politik memang suatu
keharusan, tetapi untuk keperluan itu sistem kepartaian yang ada—termasuk
hadirnya fraksi ABRI—masih tetap bisa dipergunakan. Persoalannya kemudian
bagaimana sub-sub sistem yang ada bisa menjadi demokratis, mandiri dan
sebagainya. Misalnya mengusahakan kemandirian Golkar mesti dimulai dengan
menyadari kenyataan bahwa ketidak mandirian itu terletak pada dominasi
orang-orang birokrasi pemerintahan di dalamnya. Di sini pendekatan
sosio-kultural mengambil peranan penting dalam merubah perilaku tanpa merubah
bentuk-bentuk lahiriah Iembaga
pemerintahan itu sendiri.
Di antara
contoh konkret yang bisa disebut adalah apa yang terjadi dalam tubuh Nahdlatul
Ulama (NU). NU yang ada sekarang adalah NU tahun 1926 dengan perangkatnya: Tanfidziyah
dan Syuriyah, bahkan lebih keras lagi dengan adanya sistem Mustasyar
Akan tetapi sekaligus NU sekarang bukanlah NU yang dulu. Karena di dalam
tubuhnya telah berkembang pemikiran-pemikiran makro, cakrawala pandang yang
lebih luas, pemikiran yang jauh ke depan dan cara kerja yang lebih
administrates. Perubahan-perubahan dalam kultur ini masih dalam konteks
kelembagaannya semula. Karena terjadi perubahan pada segi budaya, maka berubah
pulalah konteks masyarakatnya. Dengan demikian, untuk konteks Indonesia secara
umum, tantangan umat Islam sebenarnya adalah bagaimana mengisi Pancasila.
Negara Kesatuan RI dan sistem politiknya dengan wawasan Islam yang secara
kultural bisa merubah wawasan hidup orang banyak dengan memperhatikan konteks
kelembagaan masyarakat tadi.
Pendekatan
sosio-kultural terkadang disalah pahami sebagai hanya bersudut pandang budaya
atau politik saja, suatu pandangan yang menyesatkan. Pendekatan politik selalu
mempersoalkan segi kelembagaan, Sedangkan pendekatan kultural berbicara tentang
perilaku masyarakat dan usaha pencerahan. Kemudian persoalannya mengaitkan
lembaga dengan perilaku masyarakat adalah
persoalan mempengaruhi perilaku lembaga. Di sinilah letak peranan dari
pendekatan sosio-kultural. Sementara itu kalangan yang tampak menggebu-gebu dengan
pendekatan struktural sering terjerumus dalam pembicaraan tentang perilaku
budaya suatu lembaga, bukan bagaimana merombaknya. Apalagi perincian yang
dikemukakan dalam rangka pendekatan struktural itu ternyata adalah cara-cara
sosial budaya. Dus, sebenarnya telah terjadi kerancuan semantik.
Pendekatan
sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah
dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri.
Kalau yang terakhir ini terjadi, maka yang berlangsung sebenarnya hanyalah
proses pelarian (eskapisme). Umat Islam menuntut syarat-syarat yang terlalu
idealistik untuk menjadi muslim yang baik. Lalu tidak diakuilah kemusliman
orang yang tidak mampu memenuhi syarat-syarat itu, seperti orang-orang yang baru
bisa melaksanakan ibadah haji dan zakat sementara belum mampu melaksanakan
shalat dan puasa dengan baik. Kecenderungan
formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan Islamisasi dalam
bentuk manifestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya akan
menimbulkan kekeringan substitusi. Karena itu patut diusulkan agar terlebih
dahulu Islam menekankan pembicaraan tentaing keadilan, demokrasi dan persamaan.
Dengan demikian, peran umat Islam dalam kehidupan berbangsa ini akan lebih
efektif dan perilaku mereka akan lebih demokratis.
Weltanschauung Islam
Ajaran
Islam bisa dibedakan antara yang merupakan nilai dasar dan kerangka
operasionalisasinya. Nilai dasar adalah nilai-nilai yang mendasari kehidupan
masyarakat, yang intinya adalah (menurut Dr. Muhammad Abu Zahrah dan diperkuat
oleh ahli-ahli lain) keadilan, persamaan dan demokrasi (syura). Prinsip
operasionalisasi nilai-nilai dasar ini sudah dirumuskan dalam kaidah fiqh 'tasharruful
imam 'ala ra 'iyyatihi manuthun bil mashlahah' (tindakan pemegang
kekuasaan rakyat ditentukan oleh kemaslahatan dan kesejahteraan mereka). Dengan
bahasa sekarang, harus dijunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial
dan persamaan di muka undang-undang. Jadi Weltanschauung Islam sudah
jelas, yaitu bahwa Islam mengakomodasi kenyataan-kenyataan yang ada sepanjang
membantu atau mendukung kemaslahatan rakyat. Prinsip ini harus mewarnai segala
wujud, baik bentuk kelembagaan maupun produk
hukum.
Andaikan
telah terjadi kesepakatan (sekurang-kurangnya oleh mayoritas) tentang Weltanschauung
Islam, niscaya pekerjaan telah selesai. Sayangnya, kesepakatan ini belum pernah
terjadi, sebab orang Islam baru pada tahap membuat komponen-komponen
Weltanschauungs Islam sendiri. Proses yang terbalik ini menyebabkan kesalahan
dalam penyusunan skala prioritas kepedulian. Pada ujungnya, muncullah
keruwetan-keruwetan seperti dalam soal ada tidaknya negara Islam, masyarakat
bersyariat ataupun masyarakat berhukum sekular, bahkan masih ditambah lagi
dengan soal-soal kecil seperti apakah sebuah Undang- undang Pendidikan Nasional
harus menyebutkan pendidikan agama dalam pasal-pasalnya ataukah tidak. Upaya
sejumlah intelektual muslim, seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Yusuf
Qardlawi dan intelektual lainnya untuk menyusun prioritas yang benar, ternyata
tidak mendapatkan sambutan, karena kaum muslimin sedang mengalami krisis
identitas yang ditandai oleh kegairahan mempersoalkan manifestasi simbolik dari
Islam. Identitas diri mesti tampil secara visual. Inilah yang mempakan sebab
mengapa umat Islam sibuk dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat
pinggiran (periferal).
Apa yang disebut dengan islamisasi pada umumnya barulah
pada arabisasi budaya, yaitu semakin banyaknya dipakai terminologi Arab yang
berasal dari nash. Sebutan 'saudara-saudara', 'kelompok' atau 'kolega'
diganti dengan 'ikhwan'. Istilah 'sembahyang' yang telah berabad-abad dipakai
di negeri ini yang sebenarnya telah berkonotasi Islam, walaupun kata itu
sendiri berasal dari 'nyembah Sang Hyang', diganti dengan 'shalat', sambil
berpendirian bahwa sembahyang bukanlah shalat. Dan 'langgar' pun dirubah
menjadi 'mushalla'. Hal-hal yang bersifat 'embel-embel’ malahan menjadi
perhatian pokok. Kecenderungan ini akan berlanjut terus selama proses
identifikasi diri kaum muslimin belum terselesaikan dengan baik.
Di hadapan
itu semua tampak ada semacam quasi weltanschauung (syibh nadha-riyyah
‘anil haryah), yang lalu menjadi ideologi semu. Misalnya munculnya ideologi
tertentu. Padahal ujung dari ungkapan ‘Islam sebagai alternatif’ yang seakan
merupakan manifestasi dari suatu ideologi tertentu. Padahal ujung dari ungkapan
ini juga masih mempersilahkan masing-masing negara untuk menentukan corak
ideologinya sendiri.
Dengan sikap
demikian, sebenarnya yang ditawarkan bukanlah alternatif, karena toh
tetap berpendirian bahwa tidak ada alternatif yang universal. Terus terang
satu-satunya penulis yang secara konsisten tetap mendambakan Islam sebagai
alternatif adalah Abul A’la al Maududi. Semua ahli lain, bahkan Abul Hasan An
Nadawi apalagi Sayyid Quthb, telah merubah pendirian mereka. Terlihat jelas
pula bahwa jawaban-jawaban yang diberikan, baik oleh Khomeini maupun Ziaul-Haq,
masih bersifat semu. Idealisme mereka begitu tinggi, sehingga tidak bisa
mendarat dalam kehidupan; gagal menemukan prinsip-prinsip operasional dari
nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat. Seringakali percobaan-percobaan untuk
keperluan itu berujung pada bentuk-bentuk kekuasaan Imam. Padahal
prinsip-prinsip operasional itu semestinya senafas dengan yang telah disebutkan,
yaitu ‘tasharruful-imam ‘ala raiyatib manuthun bil-mashlahah’, ‘laa dlarara
wa laa dlirar’ (tidak dibenarkan terjadinya segala bentuk perbuatan yang
merugikan) dan sebagainya.
Selama
problem krisis identitas kaum muslimin belum terpecahkan, maka langkah-langkah
belum bisa diambil untuk membentuk Weltanschauung Islam. Dan selama masih dalam keadaan demikian, yang
ada barulah weltanschauung Islam yang semu dan baru pada tahap semangat
keislaman saja atau sekadar slogan-slogan islami kosong. Jalan yang terbaik
adalah melakukan upaya rekonstruksi hukum agama secara parsial sesuai dengan
kebutuhan atau bersifat ad-hock sejalan dengan situasi ad-hock yang
tengah berlangsung. Tentu saja tawaran ini datang dari cara pandang sarwa-fiqh.
Fiqh adalah alat yang paling efektif untuk mengatur kultur umat Islam dan bisa
dikatakan sebagai kunci kemajuan atau kemunduran mereka.
Tiga pilar
dasar; keadilan, persamaan, dan demokrasi (weltanschauung) itu
diejawantahkan kedalam sikap hidup yang mengutamakan Islam, kebangsaan dan
kemanusiaan. Prinsip operasional ‘tasharruful imam ‘ala ra’iyyatihi manuthun
bil-mashlahah’ dirinci dalam sub-sub prinsip hingga menjadi kerangka
operasioanal dari Weltanschauung Islam tersebut. Di sinilah kultur Islam
hendaknya diisikan.
Agenda
Prioritas
Apa yang
harus dikerjakan pertama kali adalah menciptakan kesadaran masyarakat tentang
apa yang harus dilakukan oleh Islam. Dari sini kemudian tersedia lahan bagi
masuknya pendekatan sosiokultural yang sifatnya mampu menampung
kebutuhan-kebutuhan pengembangan dan perubahan. Tapi kerja ini tidak bisa
begitu saja dilakukan. Dengan kata lain, betapapun pentingnya
perubahan-perubahan formalistik hukum fiqh, ternyata masyarakat tidak menunggu
rumusan-rumusan formal itu dalam menentukan apa yang hendak mereka lakukan.
Jika demikian, seharusnya masyarakat dirangsang untuk tidak terlalu memikirkan
manifestasi simbolik dari Islam dalam kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan
esensinya.
Hal ini berarti penciptaan Weltanschauung dengan pembinaan
atau pembentukan tiga nilai dasar tadi, lalu mencari prinsip
operasionalisasinya dan penjabaran prinsip itu ke dalam kerangka
operasionalisasi, dan baru sesudah itu prioritas lainnya akan muncul dengan
sendirinya. Inti persoalannya adalah membangun etika masyarakat yang baru.
Hubungan yang lebih egaliter, kebebasan berpendapat dan ketundukan kepada hukum
adalah inti keadilan, yang akan membentuk perilaku masyarakat secara
berangsur-angsur menuju budaya baru. Prioritas ini dibarengi dengan prioritas
transformasi budaya-budaya yang ada, seperti penertiban kehidupan koperasi dan
budaya politik. Budaya politik orang Jawa yang pasif (menunggu dawuh dari atas)
harus diubah menjadi budaya kreatif yang serba berinisiatif. Ini penting
sekali, karena Pancasila sendiri masih dalam taraf mencari bentuk atau masukan, untuk mengoperasionalkan nilai-nilai
dasar bangsa. Di sini Islam bisa masuk tanpa perlu formalisasi, tetapi lebih
dengan membawa Weltanschauung yang khas dari dirinya.
Tidak perlu
ada kekhawatiran bahwa dengan kesediaan meninggalkan formalitas itu Islam akan
larut dan kalah. Karena, meskipun nilai-nilai keadilan, persamaan dan demokrasi
sebenarnya bukan hanya milik Islam tetapi juga adalah milik dari ke-manusiaan,
tetapi wawasan, lingkup, watak, sasaran dan tujuannya tetap berbeda. Perbedaan
ini segera bisa dikenali manakala rincian dan nilai-nilai dasar itu diungkap
kembali dari perbendaharaan keilmuan Islam yang sangat kaya itu.
Dalam soal
keadilan misalnya, Islam mengenal apa yang dinamakan al-kulliyyat al-khams
(lima jaminan dasar); jaminan atas keselamatan fisik/pribadi, jaminan atas
keselamatan keyakinan agama, jaminan atas kesucian keluarga, jaminan atas
keselamatan hak milik dan jaminan atas keselamatan profesi. Di luar Islam tentu
saja terdapat juga konsep tentang jaminan-jaminan dasar seperti ini, akan
tetapi kuantitas dan kualitasnya pasti berbeda. Dalam bidang ekonomi akan
terlihat perbedaan nyata antara Islam dengan Kristen. Seorang muslim yang baik
dengan sendirinya adalah anti kapitalisme karena salah satu kewajiban yang
harus ditunaikannya yaitu zakat pada hakekatnya memang bersifat
anti-kapitalistik. Prinsip zakat adalah bahwa di dalam harta yang dimiliki
seseorang, terdapat sebagian yang bukan miliknya sendiri. Terlepas dan soal
besar dan kecilnya, tetapi zakat mengisyaratkan prinsip membersihkan harta dan
anti penumpukan harta serta kebebasan individu yang berlebihan.
Begitu pun
dalam bidang-bidang lain, Islam tetap memiliki kekhasannya. Bahwa ia bisa
dikembangkan menjadi sistem alternatif adalah soal lain. Dengan melihat kenyataan bahwa Islam tidak sistemik,
maka agaknya kemungkinan Itu tak ada. Sebab Islam 'hanya' mengandung
wawasan-wawasan yang bisa diterapkan pada sistem apa pun, kecuali sistem thaghut
(tiranik), yaitu sistem yang bertentangan dengan unsur-unsur utama Weltanschauung
Islam sendiri yaitu persamaan, keadilan dan demokrasi.
Jembatan
Baru
Salah satu
persoalan yang sangat perlu pemecahan adalah keterpisahan antara dua komponen
dalam sistem keyakinan Islam yaitu keyakinan akan keimanan yang sangat pribadi,
sebagaimana yang tercantum dalam Rukum Iman dan dimensi sosialnya sebagaimana
tercantum dalam Rukun Islam. Pada dimensi individu ukuran keimanan bersifat
sangat pribadi dan merupakan urusan seseorang dengan Allah sendiri (hablun
minallah). Sedang pada dimensi sosialnya
syahadat yang tampak bersifat sangat pribadi itu ternyata
berwawasan sosial, arena pengucapannya harus dilakukan di muka orang banyak,
seperti dalam persaksian perkawinan. Apalagi tentang Rukun Islam yang lain.
Shalat, apalagi berjamaah, berfungsi mencegah perbuatan keji dan munkar, yang
berarti berorientasi menjaga ketertiban masyarakat. Sementara zakat telah jelas
sebagai ibadah sosial, puasa adalah keprihatinan sosial dan ibadah haji adalah
saat berkumpulnya kaum muslimin dari segala penjuru dengan berbaju ihram yang
sama tanpa memandang pangkat dan kedudukan.
Persoalannya
kini adalah bagaimana dimensi pribadi ini bisa diterjemahkan secara sosial.
Karena di dalam Islam ternyata mungkin untuk menjadi mukmin yang baik dan
sekaligus menjadi makhluk asosial dan sebaliknya bisa terbentuk pula sikap
hidup yang begitu sosial tetapi tanpa keimanan. Usaha menjembatani kedua bentuk
keberagamaan yang ekstrem ini adalah sebuah keharusan, sedangkan al-Qur'an
telah memberikan petunjuknya (Q.S. 2:177). Ayat ini menerangkan bahwa struktur
masyarakat yang adil harus ditandai dengan perhatian yang cukup terhadap
kesejahteraan orang-orang yang menderita dan pengerahan dana untuk membela kaum
lemah. Secara epistemologis, konsep ini belum pernah dirumuskan dan disepakati
sebagai soal teologi, melainkan dianggap sebagai soal politik. Dengan demikian
yang masih diperlukan adalah, pengembangan akidah Islamiyyah yang mempunyai
komponen rukun iman dan sekaligus rukun islam dalam bentuk yang terjembatani.
Usaha menjembatani ini mempakan pekerjaan besar yang harus ditempuh melalui
dialog dengan semua pihak. Apa yang ada tetap dipertahankan tetapi mesti
ditambah dan diperjelas dengan wawasan-wawasan baru.
Dengan kata lain semua
kelompok masyarakat bertanggung jawab terhadap proses pribumisasi Islam dalam
arti mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan
masyarakat yang taat beragama.
* Tulisan
ini disusun dari wawancara lesan Abdul Mun’im Saleh dengan Gus Dur, dimuat di Islam Indonesia Menatap Masa Depan
(Jakarta: P3M, 1989)