Zionisme, Pro dan Kontranya di Kalangan Yahudi
Akhmad Sahal
Kisah kelahiran zionisme pada dasarnya adalah kisah tentang cinta kaum Yahudi terhadap Eropa modern yang bertepuk sebelah tangan. Pendiri utama gerakan ini, Theodor Herzl (1860-1904), wartawan Yahudi kelahiran Hungaria, pada awalnya adalah pemeluk teguh asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern. Sampai suatu ketika ia merasa Eropa sejatinya menampik cintanya.
Herzl, meyakini, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi, pembebasan dari diskrimnasi dan keterkungkungannya dalam kehidupan ghetto, adalah dengan mengadopsi semangat Pencerahan dan the idea of progress yang dilantunkan oleh modernitas.
Caranya dengan mengikuti seruan Napoleon Bonaparte. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada abad 18 membantu penyebaran ide-ide Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, terutama tentang kesetaraan “Hak-Hak Manusia dan Warga Negara." Pertanyaan Napoleon kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jika mereka mendapatkan hak-hak hukum dan politik yang setara dengan warga Kristen dan sekular, apakah mereka bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial keYahudian untuk menjadi individu-individu modern? Bisakah mereka melepaskan diri dari loyalitas mereka kepada otoritas rabbi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular?
Dengan tawarannya itu, Napoleon
mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas keYahudian dengan cara melebur
mereka ke dalam masyarakat Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau
berkonversi ke Kristen. Akan tetapi, respon kaum Yahudi justru sangat antusias.
Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi.
Mereka meyakini Pencerahan bukan hanya tidak bertentangan dengan keYahudian,
melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang terkenal: lihyot yahudi ba
bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan manusia di luar).
Kaum Yahudi di Perancis, misalnya,
memberikan justifikasi peleburan identitas keYahudian dan kePerancisan dengan
melihat Revolusi Perancis 1789 sebagai peristiwa mesianik dalam sejarah Yahudi
modern, dengan menganggap liberte, egalite, fraternite sebagai hukum Sinai kedua.
Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai “Israelites de France.” Hal yang sama
juga terjadi di Jerman, tempat di mana gerakan Pencerahan Yahudi (Haskalah)
yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru tumbuh dengan subur.
Para penggerak Reform Judaism di Jerman
yang berupaya memposisikan agama Yahudi sebagai kredo etika universal begitu
loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut Berlin sebagai Jerusalem baru,
“tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras
kepala.” Ungkapan doa yang diwariskan turun temurun, l'shana habaa b'Yerushalaim (tahun mendatang di Yerusalem) dilihat
hanya sebagai bagian dari ungkapan ritual yang sama sekali tidak memuat program
politik untuk memulihkan kembali tatanan politik di Yerusalem.
Dengan menjadi pemeluk teguh
ide-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka yakin bisa “persoalan Yahudi” yang mendera mereka mereka selama ratusan tahun hidup
dalam diaspora di Eropa akan bsia dipecahkan secara tuntas. Kini identitas keyahudian tidak lagi mereka definisikan dalam
kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan kepada halakhah (hukum
Yahudi), melainkan berdasarkan Pencerahan, yakni sebagai individu dengan
kebebasan dan kekhasannya sendiri.
Demikianlah, Theodor Herzl menyokong penuh integrasi Yahudi ke dalam masyarakat Eropa. Sampai kasus Dreyfus
mencuat pada 1882. Sebagai koresponden koran Wina, Neue Freie Presse, di Paris, Herzl
meliput kasus Dreyfus (Dreyfus affair). Afred Dreyfus, kapten berdarah Yahudi yang sepenuhnya asimilasionis, dituduh oleh publik Perancis menjadi mata-mata bagi Jerman dan kemudian dipecat secara tidak hormat dari dinas militer Perancis. Tuduhan itu berdasarkan anggapan bahwa meskipun sudah sepenuhnya menjadi warga negara Perancis, Dreyfus betapapun adalah seorang Yahudi, yang tak mungkin loyal terhadap negaranya.
Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, tempat lahirnya Pencerahan. Lagipula, ttidak lama sebelum itu, yakni pada 1871, progrom dan persekusi terhadap Yahudi dalam skala masif terjadi di Rusia.
Kasus ini membuat Herzl berkesimpulan, meskipun bangsanya sudah tolah dalam upayanya untuk ter-Eropa-kan, mereka tetap saja menjadi target kebencian antisemit oleh masyarakat Eropa, yang notabene sudah termodernkan. Atas dasar itulah Herzl lalu menegaskan bahwa "persoalan Yahudi" di Eropa bukanlah persoalan kultural, misalnya karena faktor prasangka atau kesalahpahaman masyarakat Kristen Eropa, yang bisa diatasi dengan pengetahuan rasional.
Selain itu, Pencerahan ternyata juga melahirkan problem baru buat kaum Yahudi. Karena, selain melahirkan individualisme, ia juga memunculkan ide tentang nasionalisme modern. Tapi di situlah letak masalahnya. Ketika
orang-orang Yahudi di pelbagai negara Eropa bertransformasi menjadi
individu-individu modern dengan identitas berdasarkan ide-ide kosmopolitan dan
universal dari Pencerahan, masyarakat Eropa justru sibuk membangun nation-statenya sendiri-sendiri. Meskipun
orang Yahudi sudah berusaha sepenuh hati menjadi bagian dari Eropa, ia tetaplah
the other, sang liyan di mata publik Kristen Eropa.
Dalam karya masyhurnya yang terbit pada 1896, Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl menyatakan bahwa akar masalahnya yahudi terletak pada kehidupan diaspora Yahudi itu sendiri: kaum Yahudi hidup terpencar--pencar di pelbagai belahan dunia, tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Diaspora yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, menurut Herzl, mengindikasikan bahwa Yahudi terus hidup dalam apa yang ia sebut sebagai "abnormalitas." Kondisi abnormal inilah yang menyebabkan mereka rentan terhadap serangan antisemitisme, bahkan pada masa modern sekalipun.
Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, tempat lahirnya Pencerahan. Lagipula, ttidak lama sebelum itu, yakni pada 1871, progrom dan persekusi terhadap Yahudi dalam skala masif terjadi di Rusia.
Kasus ini membuat Herzl berkesimpulan, meskipun bangsanya sudah tolah dalam upayanya untuk ter-Eropa-kan, mereka tetap saja menjadi target kebencian antisemit oleh masyarakat Eropa, yang notabene sudah termodernkan. Atas dasar itulah Herzl lalu menegaskan bahwa "persoalan Yahudi" di Eropa bukanlah persoalan kultural, misalnya karena faktor prasangka atau kesalahpahaman masyarakat Kristen Eropa, yang bisa diatasi dengan pengetahuan rasional.
Dalam karya masyhurnya yang terbit pada 1896, Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl menyatakan bahwa akar masalahnya yahudi terletak pada kehidupan diaspora Yahudi itu sendiri: kaum Yahudi hidup terpencar--pencar di pelbagai belahan dunia, tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Diaspora yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, menurut Herzl, mengindikasikan bahwa Yahudi terus hidup dalam apa yang ia sebut sebagai "abnormalitas." Kondisi abnormal inilah yang menyebabkan mereka rentan terhadap serangan antisemitisme, bahkan pada masa modern sekalipun.
Bagi Herzl, solusi untuk melenyapkan antisemitisme tidak bisa lain adalah dengan menyudahi abnormalitas kehidupan diaspora tersebut melalui proses normalisasi kehidupan bangsa Yahudi. Caranya dengan keluar dari Eropa dan mendirikan negaranya sendiri.
Menarik untuk dicatat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan Zionis sendiri mengenai solusi Herzl: apakah yang ia maksud adalah membangun "negara Yahudi" sebagaimana umum dipahami, atau "negara untuk orang Yahudi." Perbedaan pandangan ini menyangkut buku Herzl sendiri, Der Judenstaat, yang memang lebih tepat diartikan "negara untuk orang Yahudi." Pada yang pertama, negara yang dimaksud haruslah berkarakter yahudi dan berlokasi di Palestina. Sedangkan pada yang kedua, negara yang dibayangkan Herzl tidak mesti berkarakter Yahudi dan tidak mesti berlokasi di Palestina. Itulah sebabnya ia setuju dengan tawaran pemerintah kolonial Inggris pada awal abad 20 untuk menjadikan Uganda sebagai tempat bagi negara Zionis (tapi tawaran ini ditolak mentah2 oleh kalangan Zionis yang lain).
Menarik untuk dicatat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan Zionis sendiri mengenai solusi Herzl: apakah yang ia maksud adalah membangun "negara Yahudi" sebagaimana umum dipahami, atau "negara untuk orang Yahudi." Perbedaan pandangan ini menyangkut buku Herzl sendiri, Der Judenstaat, yang memang lebih tepat diartikan "negara untuk orang Yahudi." Pada yang pertama, negara yang dimaksud haruslah berkarakter yahudi dan berlokasi di Palestina. Sedangkan pada yang kedua, negara yang dibayangkan Herzl tidak mesti berkarakter Yahudi dan tidak mesti berlokasi di Palestina. Itulah sebabnya ia setuju dengan tawaran pemerintah kolonial Inggris pada awal abad 20 untuk menjadikan Uganda sebagai tempat bagi negara Zionis (tapi tawaran ini ditolak mentah2 oleh kalangan Zionis yang lain).
Lepas dari itu, bisa kita simpulkan bahwa Zionisme bertolak dari kehendak Yahudi untuk melakukan negasi terhadap diaspora (shelilat hagalut), karena kehidupan diaspora dianggap abnormal. Zionisme adalah upaya menormalkan kehidupan bangsa Yahudi agar menjadi bangsa normal, yakni bangsa yang punya negaranya sendiri sebagaimana bangsa-bangsa lain. (Dalam arti tertentu, normalisasi bangsa Yahudi yang mendasari Zionisme adalah pemberontakan terhadap anggapan bangsa Yahudi sebagai bangsa terpilih, kaeran Zionisme justru menghendaki bangsa Yahudi sebagai bangsa biasa sebagaimana bangsa-bangsa lain)
Penentangan dari Kiri dan Kanan
Tapi betulkah asimilasi Yahudi
adalah ihtiar yang sias-sia buat kaum Yahudi? Betulkah diaspora
merupakan kehidupan abnormal buat Yahudi?
Amos Elon, sejarawan Israel yang melacak kiprah Yahudi di Jerman dari awal abad 18 sampai naiknya Hitler pada 1933 dalam bukunya, The Pity of it All, dengan tegas membantah klaim Herzl tersebut. Menurut Elon, masyarakat Yahudi Jerman sam sekali tidak menganggap diri mereka sebagai imigran atau tamu di negeri asing. Bahkan, emansipasi politik yang mereka nikmati sebagai buah dari Pencerahan menghasilkan lonjakan prestasi yang mencengangkan dalam ranah budaya, sains, seni, dan jurnalisme. Kerekatan antara identitas Yahudi dan Jerman ini baru putus setelah Hitler berkuasa pada 1933.
Amos Elon, sejarawan Israel yang melacak kiprah Yahudi di Jerman dari awal abad 18 sampai naiknya Hitler pada 1933 dalam bukunya, The Pity of it All, dengan tegas membantah klaim Herzl tersebut. Menurut Elon, masyarakat Yahudi Jerman sam sekali tidak menganggap diri mereka sebagai imigran atau tamu di negeri asing. Bahkan, emansipasi politik yang mereka nikmati sebagai buah dari Pencerahan menghasilkan lonjakan prestasi yang mencengangkan dalam ranah budaya, sains, seni, dan jurnalisme. Kerekatan antara identitas Yahudi dan Jerman ini baru putus setelah Hitler berkuasa pada 1933.
Dengan kata lain, tidak semua kalangan yahudi setuju dengan asumsi Zionisme tersebut. Dan mereka yang
menampiknya berasal dari kiri maupun kanan, sosialis maupun
liberal.
Tokoh dan pemikir sosialisme berdarah Yahudi seperti
Rosa Luxemburg dan Leon Trotsky, misalnya, mengakui bahwa kebencian dan serangan berwatak antisemit memang nyata-nyata ada. Akan
tetapi mereka menolak solusi zionis untuk mengatasi antisemitisme, yaitu dengan
mendirikan negara Yahudi di Eretz Yisrael. Alasannnya, hal ini justru membawa
Yahudi kembali terjebak dalam nasionalisme etnis yang sempit, yang nyaris tidak
ada bedanya dengan ghetto-ghetto yang mereka huni sebelum era Pencerahan.
Bagi Luxemburg, derita Yahudi dalam diaspora tidak semestinya membuat mereka hanya berjuang untuk kelompoknya saja, menjadi parokial dan eksklusif, melainkan justru mesti me-universalisasi-kan perjuangannya sehingga mencakup kelompok lain yang tersisihkan dan tertindas di manapun di dunia. Simak ungkapan terkenal Rosa Luxemburg ini:
"Why do you pester me with Jewish troubles? I feel closer to the wretched victims of the rubber plantations of Putumavoor Negroes in Africa...I have no separate corner in my heart for the ghetto."
Bagi Luxemburg, derita Yahudi dalam diaspora tidak semestinya membuat mereka hanya berjuang untuk kelompoknya saja, menjadi parokial dan eksklusif, melainkan justru mesti me-universalisasi-kan perjuangannya sehingga mencakup kelompok lain yang tersisihkan dan tertindas di manapun di dunia. Simak ungkapan terkenal Rosa Luxemburg ini:
"Why do you pester me with Jewish troubles? I feel closer to the wretched victims of the rubber plantations of Putumavoor Negroes in Africa...I have no separate corner in my heart for the ghetto."
Kalangan Yahudi sosialis menyerukan
agar perjuangan melawan antisemitisme diintegrasikan dengan perjuangan kaum
proletar melawan kapitalisme karena di mata mereka, persoalan Yahudi bukanlah
sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan suatu gejala sosial yang terkait erat
dengan kapitalisme. Begitu kapitalisme runtuh dan sosialisme berdiri,
antisemitisme akan hilang dengan sendirinya.
Pada tingkat tertentu, argumen kaum
sosialis ini bertolak dari esai Karl Marx tentang persoalan Yahudi, Zur Judenfrage yang ia tulis hampir
setengah abad sebelum zionisme lahir, yakni pada 1843. Dalam esai tersebut,
Marx sebenarnya menolak pandangan asimilasionis Bruno Bauer yang berpendapat,
emansipasi kaum Yahudi baru bisa tercapai kalau mereka menanggalkan identitas
keagamaannya yang partikular dan menerima prinsip-prinsip liberalisme: mejadi
individu yang otonom dan mengakui legitimasi negara sekuler.
Dalam pandangan Marx, emansipasi
semacam ini adalah emansipasi semu, karena hanya terjadi pada ranah
suprastruktur, hanya emansipasi legal dan politik, bukan emansipasi kemanusiaan
secara utuh. Menurut Marx, kaum Yahudi baru mengalami emansipasi kalau mereka
dibebaskan dari apa yang oleh Marx disebut sebagai “Judaisme praktis,” yakni
kepentingan-diri, huckstering, dan uang. Dengan kata lain, kapitalisme. Tulis
Marx, “emansipasi Yahudi adalah emansipasi seluruh masyarakat dari Judaisme.”
Selain dari sayap kiri, penolakan terhadap zionisme juga disuarakan oleh kaum Yahudi liberal, seperti filosof Hermann Cohen dan Karl Popper. Hermann Cohen (1842-1918), misalnya, adalah seorang filosof Yahudi Jerman yang secara sistematis merumuskan agama Yahudi sebagai agama akal, sebagai monoteisme murni dalam bentuk hukum-hukum moral yang universal.
Di sini pengaruh konsep kategori
imperatif dan otonomi moral Immanuel Kant kuat terasa. Tapi Cohen menolak klaim
Kant bahwa agama Yahudi tidak bisa menjadi dasar bagi moralitas universal hanya
karena dia bersumber dari luar manusia (heteronom). Menurut Cohen, justru
posisi agama Yahudi sebagai monoteisme murni sejalan dengan universalisme
Kantian.
Cohen menafsirkan keterpilihan
bangsa Yahudi sebagai tugas ketimbang privilese, yakni tugas untuk merealisasikan kenyataan mesianik, yakni kehidupan berbasis perdamaian dan kemanusiaan.
Cohen melihat sejarah agama Yahudi sebagai proses “spiritualisasi” yang
bergerak dari partikularisme ke universalisme. Hancurnya kedualatan politik
Yahudi, kondisinya sebagai wandering Jews yang tak bernegara dan tak berumah
menunjukkan bahwa identitas keyahudian bukanlah dimaksudkan sebagai identitas
eksklusif untuk etnik tertentu saja, melainkan sebagai etika universal. Atas
dasar itulah Cohen menolak zionisme.
Sementara itu,Karl Popper, filosof
liberal berdarah Yahudi yang terkenal dengan bukunya The Open Societies and Its
Enemies, menolak nasionalisme etnis yang menjadi dasar zionisme, yang
menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip masyarakat terbuka yang
kosmopolitan. Popper mengakui kegagalan asimilasi Yahudi di Eropa yang
berpuncak pada tragedi Holocaust. Akan tetapi baginya, kegagalan itu mestinya
membawa kaum Yahudi untuk melampaui identitas kebangsaan yang partikular dan
bersandar pada identitas kosmopolitan.
Memang tidak semua kaum Yahudi
liberal atau sosialis serta merta menganut kosmopolitanisme dan menolak
zionisme. Harap diingat, sebagian founding fathers negara Israel adalah juga
penganut sosialisme yang ingin merealisasikan prinsip-prinsip sosialisme dan
mengkombinasikannya dengan mesianisme sekular seperti tercermin dalam
kibbutzim. Sementara pemikir liberal semacam Isaiah Berlin mendukung zionisme
bukan atas dasar menegasikan diaspora Yahudi atau menghentikan antisemitisme
seperti dikemukakan Herzl, melainkan karena bagi Berlin, realisasi kebebasan
mengandaikan adanya “rumah” sebagai tempat berpijak. (Menurut saya, argumen ini
mestinya berlaku tidak hanya untuk bangsa Yahudi melainkan juga bangsa
Palestina).
Zionisme Politik VS Zionisme Kultural
Pengkubuan/perselisihan yang terjadi di kalangan Yahudi dalam kaiatannya dengan zionisme tidak hanya terjadi antara kaum zionis dan para penentangnya. Bahkan di kalangan zionise sendiri terjadi pertentangan yang tajam antara mereka yang mengedepankan pendekatan politik dan yang memilih jalur kultural. Yang pertama dan lebih dominan bisa kita lihat pada Theodor Herzl, dan versi ekstrimnya pada Vladimir Jabotinsky, ideololog partai Likud. Sedangkan yang kedua diwakili oleh Ahad Haam dan Martin Buber.
Seperti sudah disinggung di atas,
persoalan Yahudi muncul karena bangsa Yahudi hidup secara abnormal. Zionisme
bagi Herzl tidak lain adalah proyek menormalkan kehidupan mereka dengan cara
mengumpulkannya dalam satu ikatan kebangsaan (ingathering of the exiles). Misi ini tidak akan tercapai kecuali
dengan mendirikan negara Yahudi. Dengan cara itulah zionisme hendak menciptakan
“Yahudi baru,” yakni Yahudi yang hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Tidak
heran kalau kemudian kaum zionis mazhab ini begitu terobsesi dengan otot dan
kejantanan, yang oleh karib Herzl bernama Max Nordau disebut sebagai Jewry of muscle.
Tapi pada saat yang sama, Herzl
juga melihat zionisme sebagai proyek pemberadaban yang mengemban mission civilicatrice. Ini terlukis dalam novel
utopianya, The Old-New Land (1902). Novel
ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina yang melancong ke
Macedonia dan mampir ke Yerusalem. Di sana ia menemukan betapa Yerusalem adalah
tanah yang tandus tak terurus, dengan perkampungan Arab yang kumal. Namun
betapa takjub Loewenberg ketika ia singgah sekian puluh tahun lagi, karena
Yerusalem berhasil disulap oleh kaum zionis sebagai metropolitan yang bersih,
dan makmur. Yang ada di benak Herzl, negara Israel akan menjadi seperti Swis.
Israel, kata Herzl, akan menjadi “bagian dari benteng Eropa berhadapan dengan
Asia, markas peradaban Barat untuk menangkal barbarisme Timur.
Di tanah yang baru ini, masih
menurut Herzl, Yahudi tidak lagi menjadi target serangan antisemitisme seperti
terjadi di Eropa, di mana Yahudi ditampilkan sebagai sosok yang “kotor, licik,
parasit, lembek.” Karena “Yahudi baru” ini tampil sebagai sosok yang “rasional,
kuat, beradab.”
Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai “yang lain.” Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai “yang lain.” Untuk menghapus identitas ke-“yang lain” annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di “Barat” Yahudi adalah “Timur,” maka di Timur ia menjadi “Barat.”
Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai “yang lain.” Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai “yang lain.” Untuk menghapus identitas ke-“yang lain” annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di “Barat” Yahudi adalah “Timur,” maka di Timur ia menjadi “Barat.”
Dua unsur utama zionisme politik
ini (pemujaan terhadap supremasi kekuatan fisik dan persepsi diri sebagai
pembawa peradaban Barat) pada akhirnya menjelaskan kenapa bangsa Arab/Palestina sama sekali tak muncul dalam narasi zionisme? Lihat saja semboyan mereka tentang Palestina,
“tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah.” Atau simak ungkapan Golda Meir,
mantan perdana mentri Israel, “tidak ada yang namanya rakyat palestina.” Di
sinilah letak ironi zionisme: ia lahir sebagai respon terhadap “persoalan
Yahudi” di Eropa, tetapi ia memunculkan “persoalan Arab, ” atau meminjam judul buku Edward Said, the question of
Palestine.
Berbeda halnya dengan zionisme kultural yang dipelopori oleh Ahad Haam, tokoh zionis asal Rusia yang hidup semasa dengan Herzl. Ahad Haam mengartikan upaya kembali ke tanah zion lebih dalam kerangka spiritual dan bukan politik, yakni sebagai manifestasi dari renaisans kultural Yahudi. Di mata Haam, pertautan bangsa Yahudi dengan Zion sesungguhnya berada pada level moral dan spiritual, sebagai jalan untuk merealisasikan nilai utama keyahudian, yakni Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Inilah yang menjelaskan kenapa sejak awal Haam bersebarangan dengan Herzl. Bahkan dalam Kongres Zionis pertama pada 1898 mereka berdua tidak saling menyapa.
Sejalan dengan Haam, Martin Buber
juga menolak zionisme politik Herzl dan Nordau. Penolakan Buber bertolak dari
penghargaannya terhadap eksistensi bangsa Arab di Palestina dan hasratnya
menjalin relasi yang otentik dengan mereka, dalam kerangka relasi I-Thou. Bagi Buber, berdirinya negara
Israel tidak akan menyelesaikan persoalan Yahudi manakala kaum Yahudi
mengabaikan fakta bahwa tanah Israel pada dasarnya milik dua bangsa,
masing-masing dengan klaimnya sendiri. Negara yang berdiri di atsa tanah
tersebut mestilah berbentuk negara dwi-bangsa, bukan negara Yahudi. Atas dasar itulah Buber menentang The
Law of Return dan upaya pemerintah Israel untuk mendatangkan imigran Yahudi
secara besar-besaran untuk mencapai status mayoritas.
Dengan paparan di atas, saya mencoba menunjukkan betapa pro daa kontra di kalangan Yahudi terhadap Zionisme ternyata berlangsung dengan tajam dan tak jarang saling menafikan satu sama lain. Bahkan di kalangan internal kubu Zionis, pertentangannya juga sangat keras. Setidaknya itu terjadi sampai akhir 1940an, ketika akhirnya negara Israel berdiri pada 1948.
Tapi seperti apa pertengkaran internal di kalangan Yahudi mengenai zionisme setelah negara Israel berdiri? Dan bagaimana setelah Israel menang telak atas negara2 Arab pada Perang Enam Hari pada 1967? Pertanyaaan2 ini akan saya bahas di kesempatan lain. Sekian.
Tapi seperti apa pertengkaran internal di kalangan Yahudi mengenai zionisme setelah negara Israel berdiri? Dan bagaimana setelah Israel menang telak atas negara2 Arab pada Perang Enam Hari pada 1967? Pertanyaaan2 ini akan saya bahas di kesempatan lain. Sekian.
Anti Semit = anti Arab + Yahudi , semit = arab + yahudi
ReplyDeleteTerimakasih artikel yang sangat2 menarik dan membawa pandangan baru.
ReplyDeletesip. sama2..:)
DeleteSenang sekali membacanya, ditunggu kelanjutan ceritanya ya mas :)
ReplyDeletekelanjutannya setelah lebaran kali ya :)
Deletecan't wait mas
ReplyDeletesangat bermanfaat, ditunggu kelanjutannya, Mas ...
ReplyDeleteperistiwa itu terekam dalam al quran dan di sebutkan di situ..gak bakalan israel akan berdamai..itu sudah takdir bangsa yg amat cerdas tapi raja ngeyel. nabi yg di akui ya nabi musa , nabi isa ( kristen ) dan nabi muhammad ( islam ) tidak di anggap sebagai nabi ( pembawa pencerah untuk manusia oleh tuhan setelah nabi musa ...gimana menurut pendapat bung ' ahmad sahal ...?
ReplyDeleteTulisan yang bernas.
ReplyDeleteDuduk persoalan dan akar permasalahan menjadi agak jelas buat saya.
Terimakasih