Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya di bagian kedua merumuskan pandangannya tentang status orang murtad menurut Islam sebagai berikut:
“Maka ahli-ahli hukum Islam yang disebut fuqaha sepakat bahwa orang yang murtad (keluar dari Islam) mesti dijatuhi hukuman mati. Ini dikukuhkan oleh sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam an-Nasa’i: “Siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia (man baddala dinahu fa-uqtuluhu).” Maka tatkala Mu‘adz ibn Jabal berkunjung ke kediaman Abu Musa al-Asy‘ari di Yaman dan melihat seorang Yahudi diikat lantaran masuk Islam tetapi kemudian keluar lagi (murtad), beliau berkata: “Aku tidak akan duduk sebelum orang ini dieksekusi. Demikianlah ketentuan Allah dan RasulNya (la ajlisu hatta yuqtala, qadha’Allahi wa rasulihi).” Pendapat ini yang dipegang antara lain oleh Imam at-Thahawi dan sebagian ulama salaf. Sementara mayoritas ahli fiqih empat mazhab menyatakan perlunya kesempatan terakhir diberikan kepada yang si murtad untuk bertaubat dalam tempo maksimal tiga hari. Dasarnya adalah kebijakan Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab dan Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib dalam menangani kasus murtad."
Apakah kesimpulan Dr. Arif di atas bisa dipertahankan dari sudut pandang doktrin Islam? Marilah kita periksa satu persatu bukti-bukti tekstual yang ada tentang pokok soal ini:
Poin pertama, tidak betul bahwa ahli-ahli hukum Islam (fuqaha) telah bersepakat dalam soal hukuman mati untuk orang murtad, seperti ditengarai Dr. Arif. Telaah yang dilakukan oleh Mohammad Hashim Kamali, profesor hukum Islam pada International Islamic University of Malaysia, terhadap literatur fiqh dan hadits tentang hukum apostasy (irtidad) dalam Islam setidaknya membantah adanya ijma’ (konsensus) para ulama dalam soal ini sejak dulu sampi sekarang. Profesor Kamali menyebut sejumlah pemikir Islam generasi salaf yang berpendapat bahwa orang yang keluar dari Islam tidaklah diganjar dengan hukuman mati, melainkan mesti terus menerus diberi kesemptan untuk kembli ke Islam, karena selalu ada harapan bahwa mereka akan berubah pikiran dan bertaubat. Sebut saja nama-nama seperti Ibrahim al-Nakha’i , faqih (ahli fiqh) generasi tabi’in; Sufyan al-Tsauri, ahli hadist generasi tabi’ al-tabi’in yang digelari amir al-mu’minin dalam soal hadits dan pengarang buku kompilasi hadist tekenal, Jami’ al-Shaghir dan Jami’ al-Kabir; juga ahli fiqh empat mazhb seperti Imam Sya’roni dan Imam Syarakhsyi. (Lihat Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, hal. 93). Dengan kata lain, ahli-ahli hukum Islam sejak dulu berbeda pendapat tentang soal status orang murtad.
Kedua, hadits yang dikutip Dr. Symsuddin Arif memang hadits sahih dan dimuat dalam kitab Sahih Bukhari. Imam Bukhori menyebut pernyataan Nabi tersebut dalam kaitannya dengan tindakan khalifah ‘Ali bin Abu Thalib yang menghukum bakar beberapa orang zindiq (heretik) atas kejahatan yang mereka perbuat. Ketika kabar itu sampai ke telinga Ibn ‘Abbas, ia diriwayatkan menyatakan bahwa kalau seandainya ia adalah Khalifah ‘Ali, ia tidak akan membakar mereka karena adanya larangan dari Nabi terhadap hukuman bakar. Kalau Ibn ‘Abbas yang jadi khalifah, yang ia lakukan adalah membunuh orang-orang zindiq tersebut, berdasar hadits Nabi: “barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah.” (Qastallani, Irshad al-Sari li Sharh Shhih Al-Bukhari, vol. 14: hal. 395-396).
Persoalannya, apakah dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan bahwa orang murtad harus dihukum mati karena kemurtadannya, seperti dinyatakan Dr. Arif? Saya kira pendapat semacam ini dengan mudah dibantah kalau kita mengacu pada prinsip-prinsip metodologi dalam hukum Islam (Ushul al-Fiqh).
Siapapun yang mempelajari Ushul al-Fiqh tentu tahu bahwa penetapan hukuman hudud ( hukuman mati termasuk hudud) haruslah didasarkan pada ketentuan nash (teks rujukan) yang qath’iy (bersifat pasti), baik dalam hal pengertian yang dikandungnya (qath’iyyu al-dalalah) maupun dalam hal rangkaian sanad/rantai transmisinya (qath’iyyu al-wurud). Yang memenuhi kedua kriteria tersebut adalah Al-Qur’an dan hadits mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh puluhan orang dalam setiap mata rantai transmisinya).
Nah, hadits-hadits tentang hukuman mati terhadap orang murtad sejatinya termasuk dalam kategori hadits ahad (hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu atau segelintir orang saja), dan bukan hadits mutawatir. Dan harus diingat, hadits ahad, meskipun sahih statusnya, bukanlah suatu nash yang qath’iy (pasti) melainkan dzanniy (bersifat sangkaan) belaka. Karena itu, ia tidak bisa dijadikan sebagai dasar bagi penetapan hukuman hudud. Walhasil, dilihat dari sudut pandang Ushul al-Fiqh, argumen Dr. Arif yang memakai hadits ahad sebagai dalil untuk menegakkan hukuman mati terhadap kaum murtad terbukti rontok dengan sendirinya.
Ketiga, klaim Dr. Syamsuddin Arif dan juga Ahmad Rofiqi bahwa kaum murtad harus dibunuh karena kemurtadannya jelas bertentangan dengan spirit sejumlah ayat al-Qur’an tentang orang murtad ( seperti QS 3:90, 4:137, dan 2:217). Ayat-ayat ini memang menegaskan bahwa perbuatan murtad adalah suatu dosa yang serius, dan orang murtad akan dihukum Allah di akhirat. Tapi ayat-ayat tersebut sama sekali tidak menyinggung adanya hukuman mati di dunia buat mereka.
Simak misalnya ayat 4:137: “Sesungguhnya orang-orang yang telah menyatakan beriman kemudian menjadi kafir, lalu beriman lagi, lalu menjadi kafir lagi, kemudin bertambah-tambah dalam kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan memberi mereka petunjuk kepada jalan (yang lurus).” Perhatikan, ayat ini berbicara tentang orang yang bolak-balik murtad. Tapi hukuman yang disebut dalam ayat ini hanya hukuman yang berlaku nanti kalau di akhirat. Tidak disinggung adanya hukuman mati buat mereka di dunia. Logikanya, kalau tindakan murtad serta merta harus diganjar hukuman mati, tentu statemen Al-Qur’an tentang fenomena bolak-balik murtad menjadi tidak bermakna, karena si murtad tentunya sudah dipenggal sejak pertamakali keluar dari Islam. Dari ayat itu kita bisa menyimpulkan, tindakan murtad memanglah suatu dosa besar. Kalau si murtad tidak bertobat sampai meninggal, maka Allah tidak akan memberinya ampunan. Meskipun demikian, si murtad tetap punya hak untuk hidup dan selalu diberi kesempatan untuk bertobat hingga ajal menjemputnya.
Kesimpulan semacam ini juga didukung oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang tidak adanya paksaan dalam agama; tentang prinsip bahwa setiap orang punya tanggungjawab sendiri-sendiri untuk memilih mana jalan yang benar dan mana yang sesat; dan bahwa tugas Rasul hanyalah menyampaikan risalah kenabian dan bukan untuk memaksa orang untuk menjadi mu’min, karena kalau Allah menghendaki, niscaya semua orang bisa saja Dia bikin menjdi beriman.
Anehnya, baik Syamsuddin Arif maupun Ahmad Rofiqi dalam tulisannya sama sekali bungkam terhadap ayat-ayat yang saya sebut di atas. Dr. Arif malah mengutip ayat Ma’idah 33-34, yang berbicara tentang hukuman bagi “orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya.” Pihak yang melancarkan perang terhadap Allah dan Rasulnya bisa saja kaum murtad, tapi bisa juga kaum kafir ataupun musyrik. Dus, sungguh keliru kalau memakai ayat ini sebagai dalil hukuman mati terhadap orang murtad semata-mata karena kemurtadannya.
Keempat, Syamsuddin Arif dan Ahmad Rofiqi juga mengabaikan sejumlah hadist sahih lain yang bercerita tentang sejumlah orang yang keluar dari Islam pada masa Nabi, tapi beliau tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap mereka. Misalnya, ketika Nabi masih tinggal di Makkah, ada seorang muslim bernama Ubaidillah bin Jahsh ikut serta dalam hijrah sejumlah sahabat Nabi dari Makkah ke Ethiopia. Sesampai di sana, Ubaidillah pindah ke agama Kristen dan tetap tinggal di Ethiopia. Nabi tentu tahu akan hal itu, tapi beliau ternyata tidak membunuhnya.
Contoh kasus lain: ketika di Madinah, ada seorang Arab badui datang menemui Nabi untuk menyatakan masuk Islam. Tapi beberapa saat kemudian, si badui minta supaya bai’at Islam-nya dibatalkan. Pada mulanya Nabi menolak, tapi si badui ngotot, dan akhirnya meninggalkan Madinah untuk kembali ke keyakinan pra-Islamnya. Meskipun demikian, Nabi juga tidak menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Kisah ini termuat dalam Sahih Bukhari:
عن جابر رضى الله عنه: جاء اعرابي الى النبي صلي الله علىه وسلم فباىعه علي الاسلام فجاء من الغد محموما فقال: اقلني, فابى- ثلاث مرار. فقال: المدىنة كالكىر تنفي خبثها وىنصع طىبها.
Diriwayatkan dari Jabir R.A: seorang badui datang menemui Nabi dan melakukan bai’at masuk Islam. Tapi keesokan harinya dia datang dalam keadaan demam: batalkan bai’at Islamku, tapi Nabi menolak—berulang sampai tiga kali. Akhirnya Nabi berkata: Madinah ibarat alat peniup api, membuang yang kotor dan menjernihkan yang bersih darinya.
Dalam kaitan dengan empat poin yang saya paparkan di atas, ada baiknya di sini kita menyimak pandangan Mahmud Syalthut, pemikir Islam Mesir yang pernah menjadi rektor Universitas al-Azhar pd dekade 1950-an. Dalam kitabnya Al Islam: ‘Aqidatun wa Syari’atun, Mahmud Syaltut menulis:
“Mengenai hukuman mati untuk perbuatan murtad, para ahli fiqh mendasarkan diri pada hadits yng diriwayatkan Ibn Abbas:” Man baddala dinahu faqtuluhu” (Barang siapa berganti agama maka bunuhlah.) Hadits ini memunculkan pelbagai respon dari ulama. Banyak di antara mereka bersepakat bahwa hukuman hudud tidak bisa didasarkan pada hadits ahad.
Tindakan murtad semata tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi hukuman mati. Faktor utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya agresi dan permusuhan (dari si murtad, AS) terhadap kaum beriman, dan kebutuhan untuk menjaga kemungkinan munculnya penghasutan melawan agama dan negara. Kesimpulan ini didasarkan pada banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang melarang paksaan dalam beragama.” (dikutip dalam Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, 1994, hal. 94-95).
Terdapat sekurang-kurangnya dua hal penting yang bisa kita garisbawahi dari pernyataan Mahmud Syalthut ini.
Pertama, hadits “barang siapa mengubah agamanya maka bunuhlah” adalah hadits ahad, yang meskipun sahih, tidak bisa digunakan sebagai dasar penetapan hudud, sepertihalnya hukuman mati buat kaum murtad. Poin ini sudah saya paparkan sebelumnya.
Kedua, statemen Syalthut “faktor utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya agresi dan permusuhan (dari si murtad, AS) terhadap kaum beriman, dan kebutuhan untuk menjaga kemungkinan munculnya penghasutan melawan agama dan negara” sangat penting untuk ditekankan karena statemen itu menegaskan ‘illat (ratio legis, alasan hukum) yang menjadi alasan diterapkannya hukuman mati buat orang murtad. Yakni, bahwa hukuman itu terkait erat dengan adanya unsur agresi dan permusuhan dari si murtad. Dengan kata lain, kaum murtad memang wajib diperangi kalau kemurtadan mereka dibarengi dengan tindakan memusuhi dan menyerang kaum beriman. Adapun kalau mereka keluar dari Islam tanpa disertai dengan tindakan semacam itu, maka hukuman mati dengan sendirinya tidak berlaku buat mereka. Ini sesuai dengan satu diktum al-qawa’id al-fiqhiyyah (legal maxims): Al-hukmu yaduru ma’a al ‘illati wujudan wa ‘adaman (berlaku atau tidaknya suatu hukum bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat (alasan hukum) yang mendasarinya).
Yang menarik, pendapat Mahmud Syalthut ini juga digemakan kembali oleh Tariq Ramadan, pemikir Islam Eropa kontemporer yang sekaligus juga cucu Hasan Al-Banna, pendiri garakan Ikhwanul Muslimin. Dalam satu wawancarnya yang pernah dimuat di Nesweek dan Washington Post, Tariq Ramadan menyampaikan pandangannya tentang apostasy dalam Islam sebagi berikut:
In the Islamic legal tradition, “apostasy” known as “ridda” is related to changing one’s religion and its injunction is mainly based on two prophetic sayings (ahadith) both quoted in sahih Bukhari (9,83 and 84): “The one who changes his religion, kill him” and another tradition noting that among the three categories of people who can be killed is “the one who leaves the community”. The great majority of the Muslim scholars, from all the different traditions and throughout history, have been of the opinion that changing one’s religion is prohibited in Islam and should be sanctioned by the death penalty.
Nevertheless we find, in very early studies and writings, several Muslim scholars having a different approach. The jurist Ibrahîm al-Nakha’î (8th), Sufyân ath-Thawrî (8th) in his renowned work on the prophetic tradition (Al-Jâmi’ al Kabîr, Al-Jâmi’ al-Saghîr) as well as the hanafi jurist Shams ad-Dîn as-Sarakhsî (11th) – among others- hold other views. They question the absolute authenticity of the two prophetic traditions quoted above. They also argue that nothing is mentioned in the Qur’an pertaining to this very sensitive issue and add that there is no evidence of the Prophet killing someone only because he/she changed his/her religion.
The Prophet took firm measures, only in time of war, against people who had falsely converted to Islam for the sole purpose of infiltrating the Islamic community to obtain information they then passed on to the enemy. They were in fact betrayers engaging in high treason who incurred the penalty of death because their actions were liable to bring about the destruction of the Muslim community and the two prophetic traditions quoted above should be read in this very specific context.
In light of the texts (Qur’an and prophetic traditions) and the way the Prophet behaved with the people who left Islam (like Hishâm and ‘Ayyash) or who converted to Christianity (such as Ubaydallah ibn Jahsh), it should be stated that one who changes her/his religion should not be killed. In Islam, there can be no compulsion or coercion in matters of faith not only because it is explicitly forbidden in the Qur’an but also because free conscious and choice and willing submission are foundational to the first pillar (declaration of faith) and essential to the very definition of “Islam”. Therefore, someone leaving Islam or converting to another religion must be free to do so and her/his choice must be respected. (Untuk wawancara lengkapnya, lihat: http://www.tariqramadan.com/Muslim-Scholars-Speak-Out.html ).
Penutup
Telaah saya terhadap aspek historis (bagian pertma dan kedua) dan aspek doktrinal (bagin ketiga) menyangkut gerakan nabi palsu dan status orang murtad menurut Islam pada prinsipnya ingin menunjukkan betapa klaim Dr. Syamsuddin Arif dan Ahmad Rofiqi bahwa orang murtad wajib diperangi dan dihukum mati semata-mata karena kemurtadannya terbukti sama sekali tidak ditopang oleh fakta historis dan dalil syar’i yang bisa dipertanggungjawabkan.
Ahmad Rofiqi dalam tulisnnya menyebut artikel saya di Koran Tempo yang ia tanggapi sebagai mengandung “aroma liberalisme sinkretis” (saya nggak paham maksud istilah ini, AS) yang “mendistorsi dan memanipulasi” data historis. Rofiqi juga menuduh saya sebagai “menghalalkan segala cara,” “pembela nabi palsu dan aliran sesat,” dan “berdusta kepada masyarakat Islam di negerinya sendiri.” Sungguh ironis bahwa seorang yang mengaku sebagai intelektual begitu gampangnya memberikan label-label yang penuh prasangka terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya. Ironis bahwa tuduhan2 serem ini keluar dari kalangan akademisi, “alumni pasca-sarjana Ibnu Khaldun,” yang mestinya menjunjung soal adab dalam berpolemik. Kalau sudah begitu, saya tidak bisa menahan diri untuk punya pikiran semacam ini: perbedaan antara posisi saya dan Rofiqi sesungguhnya bukanlah antara “liberal” versus “salafis,” melainkan antara sikap yang mengakui pentingnya kritik ilmiah dan kesadaran historis dalam mendaras agama dengan sikap yang berlumur dengan prasangka dan dogmatisme.
Yang juga tak kalah ironis, Dr. Syamsuddin Arif menyebut dirinya sebagai pakar orientalis. Tapi anehnya, pandangan keislamannya—setidaknya tercermin dalam tanggapannya terhadap artikel saya -- justru memperkukuh stereotip tentang Islam yang dulu sering didengungkan sejumlah orientalis, yakni stereotip tentang Islam sebagai agama yang penuh kekerasan dan intoleransi, Islam yang sama sekali jauh dari kesan damai dan tanpa paksaan. Bukankah gambaran Islam yang seperti itu yang dulu sering dilantunkan oleh sejumlah orientalis Barat, dengan maksud untuk memojokkan Islam, untuk senantiasa memposisikan Islam sebagai “the other” dari Barat? Dengan demikian, disadari atau tidak, dalam hal pandangannya tentang Islam, pakar orientalis dari International Islamic University (IIU) Malasyia ini justru mengamini kaum orientalis.
Wallahu A’lam bi-al Shawab.
Mantap, Pak Sahal.
ReplyDeleteSelain memberi banyak cercah-cercah pencerahan di sana-sini (saya membaca seluruh tulisan Anda dari bagian awal), saya juga belajar dari Anda bagaimana etika berdebat yang santun itu dilakukan.
Sekalian ingin saya utarakan dengan jujur, saya termasuk salah seorang yang mendapat manfaat pertama dari tulisan Anda terkait tema yang tak kunjung usai ini. Saya ingin mengucapkan terima kasih.
Ps: sekalian, izin saya save dan saya share di note facebook saya.
Wassalam
Two thumbs up...........
ReplyDeletemantabbbb...setelah membaca tulisan ini, seperti merasakan dahsyatnya sensasi ketika barca membantai madrid 5-0. (Barca= AS, Madrid= AR & SA)hehehe...
ReplyDelete@bung susanto: tengkyu. sangat dipersilakan
ReplyDeletedon taxin dan anick: sepakat :)
Sebelum saya menulis komentar di bagian pertama, saya juga sudah membaca bagian 2 dan bagian 3. Dan barusan saya sudah baca ulang bagian 3 ini. Saya ingin fokus pada hadis: [man baddala diinahu faqtuluuhu] dulu. Anda menyatakan:
ReplyDelete[Siapapun yang mempelajari Ushul al-Fiqh tentu tahu bahwa penetapan hukuman hudud ( hukuman mati termasuk hudud) haruslah didasarkan pada ketentuan nash (teks rujukan) yang qath’iy (bersifat pasti), baik dalam hal pengertian yang dikandungnya (qath’iyyu al-dalalah) maupun dalam hal rangkaian sanad/rantai transmisinya (qath’iyyu al-wurud). Yang memenuhi kedua kriteria tersebut adalah Al-Qur’an dan hadits mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh puluhan orang dalam setiap mata rantai transmisinya).]
Saya ingin tahu, ulama Ushul Fiqh yang mana dan di kitab apa terdapat pernyataan semacam itu?
Saya hampir yakin bahwa tidak ada Ulama Ushul yang pernah menyatakan seperti yang Anda katakan. Kalaupun ada--dan Anda bisa tunjukkan--itu adalah pendapat minoritas dan sangat lemah.
ReplyDeleteLagi pula, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki di dalam kitab beliau "Baraa`ah al-Millah al-Islaamiyah min Iftiraa`aat wa Adhaaliil al-Firqah al-Ahmadiyah al-Qaadiyaaniyah", hadis "Man baddala diinahu faqtuluuhu" mencapai derajat mutawatir. Maka syubhat yang menolak berdalil dengan hadis tersebut dalam perkara hudud, kandas secara telak.
Amhar, baca pernyataan mahmoud syalthout yang saya kutip di tulisan saya. lagi pula, anda mengabaikan argumen2 lain yang bertentangan dgn hadits tsb. saya sih nggak mau hanya berpatokan pada satu hadits, yang statusnya sebagai dalil dlm hal ini dipertanyakan, terus menjadikannya sebagai kacamata kuda.....
ReplyDeletesaya lagi blogwalking, kbetulan nyampe sini hehe
ReplyDeletesalam silaturahmi smuanya...
mg bisa mengikuti diskusian yg mahir2 ini
terima kasih sudah merespon, pak Sahal. saya belum mengecek pernyataan Mahmud Syalthuth. Anda pun tidak mengutipnya secara langsung dari kitabnya. tetapi kalaupun pernyataan itu benar, tetap harus diklarifikasi. pertama, pernyataan: "Banyak di antara mereka bersepakat bahwa hukuman hudud tidak bisa didasarkan pada hadits ahad." Siapa "banyak (ulama)" yang dimaksud dan di kitab apa? ini penting agar pernyataan seseorang mempunyai bukti, seberapa hebat pun orang yang mengeluarkan pernyataan tersebut. kedua, tentu saja saya pun tidak berpatokan satu hadis saja. tetapi pernyataan Anda yang mendeligitimasi status hadis itu sendiri perlu mendapat sorotan. lagi pula, jika dipahami dengan baik, tidak ada hadis-hadis lain yang bertentangan dengan hadis yang menurut asy-Syuwaiki mutawatir tersebut. sebagai contoh, ketika Anda membawakan hadis tentang seorang Arab badui yang mencabut baiatnya, sebenarnya baiat yang dimaksud adalah baiat untuk tinggal di Madinah, bukan baiat atas Islam.
ReplyDeletedemikian.