Friday, August 26, 2016

Intoleransi dan Liberalisme yang Simplistis




Intoleransi dan Liberalisme yg Simplistis:

Tanggapan utk Om Ardiwirdamulia  @awemany

Saya mengapresiasi kritik yang dilontarkan Om Awe ke saya di tulisan ini: https://ardiwirdamulia.com/2016/08/26/menata-lagi-agenda-kita-gimana-yai/

Menurut Om Awe yg menyebut diri "liberal," saya dianggap sebagai liberalis yang tak konsisten dgn asas liberalisme. Baginya, liberalisme adalah tentang dikotomi publik vs privat, yakni perjuangan kesetaraan hak2 sipil warga di ranah publik, sambil menjaga ranah privat dari intervensi dan represi negara sebagai di ranah publik dari ancaman represi negara. Sikap saya yg getol melantunkan wacana anti intoleransi, menurut Om Awe justru kontraproduktif, karena hanya berkubang di wacana privat dan abai terhadap isu publik (negara). 

Kritik Om Awe tersebut cukup lugas poinnya. Sayangnya, dasarnya adalah gambaran yang tak utuh tentang liberalisme dan pemahaman yang seadanya tentang watak diskursus keislaman. Akibatnya, solusi liberal yang ditawarkannya pun simplistis. 

Berikut poin2 tanggapan saya:

1. Betul bahwa salah satu ciri utama liberalisme  adalah dikotomi publik - privat. Tapi simaklah sejarah kelahiran liberalisme di Eropa abad 17, maka tuan akan tahu bahwa esensi liberalisme adalah proteksi terhadap individu (haknya, keyakinan agamanya, self-interestnya) dari ancaman kesewenangan yang datang bukan hanya dari ranah publik, tapi juga privat, bukan hanya dari tirani negara, tapi juga komunitas/ masyarakat. Bahkan, lahirnya kesadaran tentang  perlunya perlindungan individu lahir karena ketakutan Eropa terhadap perang agama yang meluluhlantakkan masyarakat Kristen Eropa, yang digambarkan Hobbes sbg, "perang semua lawan semua."

2. Karena dalam liberalisme individu punya aspirasi, keyakinan, dan kepentingannya yang beragam dan setara, yang tak boleh ditindas baik oleh negara maupun komunitas, maka tatanan liberal menghargai keragaman/ pluralisme.

3. Liberalisme bertolak dari asumsi bahwa tatanan politik lahir karena kontrak sosial antar individu untuk melindungi diri mereka dari tirani negara maupun masyarakat. Inilah dasar dari demokrasi konstitusional. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi juga bagaimana perlindungan terhadap individu dari represi dan diskriminasi dari manapun, atas nama apapun, bisa dijamin oleh konstitusi.  Misalnya, hak berkeyakinan (juga beribadah). Ini hak yang bersifat mutlak, tak boleh dirampas negara ataupun mayoritas. Jadi tak dibenarkanandai ada mayoritas pemenang pemilu bersepakat untuk melakukan diskriminasi hak-hak minoritas atas nama "kearifan lokal." Karena hak individu, meski minoritas, bukan anugrah negara, bukan pemberian masyarakat, tapi melekat dalam diri manusia sebagai manusia.

4. Yang ingin saya katakan, liberalisme bukan hanya tentang melindungi "privat" dari intervensi negara, seperti kata Om Awe, tapi juga dari intervensi elemen privat lain. Dan jangan lupa, yang disebut sebagai "privat" itu tidak tunggal, tapi beraneka (multitude), yang satu sama lain bisa saling tabrakan. Dan jangan lupa juga, perlindungan terhadap hak-hak individu dalam ranah antar privat ini sama pentingnya dengan dikotomi privat- publik. Bahkan di negeri kita, kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi sering dilakukan oleh ormas2 agama, elemen2 yang disebut Om Awe sebagai "privat."  

5. Saya setuju ketika Om Awe bilang tugas kalum liberal adalah fokus di wilayah publik: mendorong negara untuk menindak tegas apabila ada kaum fundamentalis melakukan aksi diskriminasi dan intoleransi. Juga memberi pencerahan ke umat bahwa keyakinan agama itu soal pilihan yang boleh diintervensi. Tapi ketika Om Awe minta agar apa yang sudah menjadi keyakinan umat gak usah diotak-atik (misal kewajiban jilbab), buat saya ini aneh sekali, terutama kalo ditinjau dari perspektif khazanah pemikiran Islam. 

6. Om Awe harus tahu, pro kontra soal status hukum segala sesuatu itu biasa banget. Rentang perbedaannya bahkan bisa sampe berlapis2. Di sini umat harus dibiasakan untuk menerima perbedaan pandangan dalam Islam. Bukan hanya dalam soal furu' (cabang), tapi juga soal ushul (misal soal aqidah, pertentangan pendapat antara Mu''tazilah, Asy'ariyah . Buat saya, keragaman pandangan ini yang justru di-exposed besar2an, biar publik tidak kagetan. Para Ulama dulu melihat perbedaan macam ini sebagai rahmat bagi umat, karena dengan begitu, yang tersedia tidak hanya satu opsi.

7. Seruan Om Awe untuk tak mengutak-atik apa yang diyakini umat justru terkesan kompromistis terhadap stagnasi (kejumudan) dan bertentangan dengan prinsip tajdid (pembahruan Islam) yang menekankan dinamisme hukum Islam. Contoh, fatwa Syaikh Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa negara/ pengadilan, atas dasar kemaslahatan, boleh melarang poligami ketika poligamiterbukti menimbulkan mafsadah, kerugian dan nestapa bagi masyarakat. Cak Nur pernah berbicara tentang dilema yang harus dipilih antara pembaharuan Islam atau integrasi umat. Yang diutak-atik di sini bukan hanya soal hukum Islam, tapi juga theologi. Jadi hal semacam itu justru biasa banget dalam Islam. Aneh kalo Om Awe yang liberal justru alergi dengan hal tsb. 

8. Intoleransi muncul mana kala ada yang mengklaim bahwa sikap/ pendapatnya adalah tolok ukur keislaman. Yang beda pandangan dengan mereka dianggap sesat, Dalam ungkapan Sulayman ibn Abdul Wahhab, kakak pendiri Wahabisme, "wa taj'aluna mizana kufrin nasi mukhalafatakum wa mizanal Islam muwafaqatakum: Kalian menjadikan ukuran kekafiran manusia adalah yang beda dengan kalian dan ukuran keimanannya adalah yang sejalan dengan kalian." 

9. Contoh, ada yang menganggap Pak Quraisy Shihab sesat hanya karena berpendapat yang diwajibkan itu bukan jilbab dalam arti yang kita kenal, tapi pakaian terhormat. Padahal pendapat Pak Quraisy itu juga punya dasar syar'i. Juga soal wacana pemimpin non muslim. Tentu saja sah2 saja seorang muslim memilih pemimpin berdasar kesamaan agama. Yang saya tentang adalah menjadikan pandangan semacam itu sebagai tolok ukur keislaman, sehingga yang berbeda pandangan (padahal dengan dasar syar'i) dianggap menyimpang dari Islam. 

10. Saya heran dengan penyimpulan Om Awe bahwa saya mencap yang beda pandangan denganku sebagai intoleran. Bagi saya ini penyimpulan yang "ajaib," karena tujuan saya justru ingin agar intoleransi (menjadikan pandangan sendiri sebagai ukuran keislaman sehingga yang beda dengannya dianggap menyimpang) bisa terkikis. Saya memang intoleran terhadap intoleransi, karena buat saya, syarat tergaknya toleransi adalah intoleran terhadap intoleransi. 

11. Dengan lima poin terakhir di atas saya ingin menegaskan bahwa persoalan intoleransi bukan semata-mata soal publik- privat seperti ditegaskan Om Awe. Yang tak kalah penting dalam konteks umat Islam justru kemauan bersama untuk membuka diri terhadap pembaharuan Islam, yang nota bene justru merupakan imperatif Islam itu sendiri. Dan itu bisa dimulai dengan mengutak atik pemikiran dalam bidang aqidah dan hukum Islam. Dengan beitu keragaman pandangan Islam menjadi hal yang dianggap mainstream, tanpa ada yang merasa paling Islam. Sekian. 




No comments:

Post a Comment