https://ardiwirdamulia.com/2016/08/27/pada-akhirnya-semua-ini-pilihan-bebas-kok-yai/
Tidak tepat juga kalau Om Awe biang saya punya agenda yang berbeda
dengannya seperti dinyatakan di tulisannya di atas. Yang saya bilang, Om Awe mereduksi persoalan hanya pada dikotomi
pubik –privat. Padahal akar masalahnya menurut saya terletak pada adanya upaya
menggerus dan menggerogoti ideologi dan
pemikiran yang mendasarinya.
Betul bahwa liberalism berporos pada membela kesetaraan
hak-hak sipil warga dan melindungi wilayah privat dari intervensi negara.
Dalam rumusan John Rawls, tatanan liberal adalah tatanan
yang berdasar justice as fairness, di
mana warganya merupakan individu2 yang
bebas dan setara (free and equal) dan
dilindungi hak2 dan kepentingannya oleh negara secara setara pula. Perlu
dicatat, orang tidak harus menganut ideologi liberal untuk bisa ditampung dalam
tatanan liberal. Apapun ideology dan pahamnya boleh, asalkan mematuhi aturan
main justice
as fairness tsb. Kepatuhan ini ditopang oleh apa yang disebut Rawls sebagai
overlapping consensus, yakni
kesepakatan bersama yang dasarnya bukan ajaran atau paham kelompok tertentu,
meski mayoritas, tapi merupakan prinsip2 yang diterima sebagai milik bersama, sekaligus
mewakili semua pihak. Negara harus bersikap wasit yang netral, tak memihak
salah satu paham yang dianut warganya.
Masalahnya jadi runyam kalau ada sekelompok orang yang di
satu sisi berada dalam tatanan liberal sebagai “justice as fairness di antara
para pesertanya yang free dan equal, tapi di sisi lain menggerus/
menggerogoti basis ideologi tatanan tersebut.
Ambil contoh kampanye pengharaman pemimpin non muslim yang
disertai klaim bahwa itulah satu2nya suara Islam yang sah. Dalam tatanan liberal,
boleh saja seorang muslim memilih menolak memilih pemimpin non muslim karena
dasar agama. Toh orang tak harus menjadi liberal untuk bisa ditampung dalam
tatanan liberal.
Tapi menjadi problematis kalau disertai kampanye bahwa muslim
yang berbeda dengan mereka adalah orang2 yang menyimpang dari Islam. Karena
dari perspektif tafsir Qur’an dan hukum Islam, bisa juga ditarik kesimpulan
bahwa larangan semacam itu tidak mutlak tapi situasional, dan bahwa kriteria
kepemimpinan itu bukan iman, tapi
keadilan, kompetensi dan amanah. Artinya, kalau ada muslim yang memilih pemimpin
yang dia yakini adil, kompeten dan bersih meskipun non muslim, itu sama sekali
tak menyimpang dari Islam.
Idealnya, dalam tatanan liberal, keragaman pandangan dalam
agama harus diterima sebagai sama2 punya hak untuk hidup. Masing2 punya hak
untuk merasa benar, dalam arti secara argumen merasa pandangannya yang valid. Tapi
jangan sampai memvonis yang beda dengannya dengan menyerang keimanannya,
seperti memberi cap “sesat,” “munafik,” “kafir”, “agamamu apa?”
Di sini Om Awe keliru dalam menangkap poin saya tentang
intoleransi. Om Awe mengkritik pemahaman saya tentang intoleransi yang saya
kaitkan dengan “menjadikan pandangan keislaman sendiri sebagai tolok ukur
keislaman/ keimanan, sehingga yang beda dengannya dianggap menyimpang.” Menurut
Om Awe, kalau orang meyakini pandangannya sebagai benar, dengan sendirinya
memandang pandangan yang bersebarangan dengannya sebagai salah. Intolerannya di
mana, begitu kira2 sanggah Om Awe.
Problem Om Awe: tak bisa membedakan antara ranah
epistemologis dengan ranah iman. Pada yang pertama, kriteria benar-salahnya adalah
argumen yang bisa diuji secara ilmiah. Sah2 aja kita menyalahkan argumen pihak yang
berseberangan dengan kita. Tapi hanya karena argumennya beda tak lantas kita
berhak menyebutnya sebagai “munafik, sesat, kafir” bahkan sampai mempertanyakan
“agamamu apa?”
Kalau sampai menggungat keimanan orang yang beda dengan kita
dan bukan keilmuannya, di situlah letak intoleransi. Inilah yang saya maksud
dengan menjadikan pandangan keislaman sendiri sebagai tolok ukur keimanan. Ironisnya, pelakunya
kebanyakan dari mereka yang pengetahuan keislamannya dangkal dan parsial, tapi
hobinya memvonis sesat mereka yang beda.
Yang saya cemaskan, di balik itu semua adalah menguatnya
anggapan bahwa keislaman yang sejati dan kaffah adalah keislaman yang justru
menarik garis pemisah yang tegas dengan non muslim, bahkan dengan yang beda paham
keislamannya. Ingat, selain wacana pengharaman pemimpin non muslim, ada juga
pengharaman ucapan selamat natal dan hari besar agama lain, gaduh soal buka
bersama di gereja, persekusi terhadap
kelompok yang dituduh “sesat”, seperti Syiah dan Ahmadiyah dll.
Ini mengingatkan saya pada keber-Islam-an dalam tatanan
darul Islam/ khilafah pra modern, di mana non muslim diperlakukan sebagai
dzimmi (warga negara kelas dua) yang tak boleh menjadi pemimpin, minoritas yang
dituduh heretic diburu dan ditindas.
Kalau yang seperti ini dijadikan sebagai ukuran ke-kaffah-an
dalam ber-islam, berarti tatanan liberal yang didambakan Om Awe mendapat
ancaman yang serius, karena yang terjadi adalah pertempuran antara cara
berpikir modern yang menjadi dasar faham kebangsaan dan citizenship yang
menempatkan warga negara sebagai individu2 yang free dan equal versus cara
berpikir abad pertengahan yang menempatkan orang yang beda agama sebagai “the
other” dan warga negara kelas dua. Kalau boleh meminjam istilah Bung karno, ini
pertempuran antara cara bepikir “masyarakat kapal udara,” versus “masyarakat
onta.”
Bisakah tatanan liberal bertahan ketika cara berpikir “masyarakat kapal udara” dikalahkan oleh cara berpikir “masyarakat
onta”? Kayanya “hil yang
mustahal,” meminjam Asmuni Srimulat. Kalau sudah begini, apakah Om Awe masih
menganggap wacana seperti tajdid, kontekstualisasi hukum Islam agar relevan
dengan tuntutan zaman, pembaharuan Islam, sebagai agenda yang kontra produktif bagi tegaknya tatanan liberal yang didambakannya? Wassalam.
Sorry OTT : Nilai GRE Quantitative Reasoning Bung Sahal berapa ya ?
ReplyDeleteCasino (2021) » Real money no deposit bonuses and free
ReplyDeleteWe've made 논산 출장안마 every effort in our casino to get 시흥 출장안마 you to the 통영 출장마사지 point where the 경기도 출장안마 players are entitled to their first deposit bonus. 창원 출장안마 We recommend you to look at the