Sunday, August 28, 2016

Liberalisme, Masy Kapal Udara, Masy Onta -- Tanggapan Kedua utk Om Awe



Tanggapan Keduaku untuk Om @awemany (Ardi Wirdamulia)

https://ardiwirdamulia.com/2016/08/27/pada-akhirnya-semua-ini-pilihan-bebas-kok-yai/


Tidak tepat juga kalau Om Awe biang saya punya agenda yang berbeda dengannya seperti dinyatakan di tulisannya di atas. Yang saya bilang, Om Awe mereduksi persoalan hanya pada dikotomi pubik –privat. Padahal akar masalahnya menurut saya terletak pada adanya upaya menggerus dan menggerogoti  ideologi dan pemikiran yang mendasarinya.

Betul bahwa liberalism berporos pada membela kesetaraan hak-hak sipil warga dan melindungi wilayah privat dari intervensi negara.

Dalam rumusan John Rawls, tatanan liberal adalah tatanan yang berdasar justice as fairness, di mana  warganya merupakan individu2 yang bebas dan setara (free and equal) dan dilindungi hak2 dan kepentingannya oleh negara secara setara pula. Perlu dicatat, orang tidak harus menganut ideologi liberal untuk bisa ditampung dalam tatanan liberal. Apapun ideology dan pahamnya boleh, asalkan mematuhi aturan main  justice as fairness tsb. Kepatuhan ini ditopang oleh apa yang disebut Rawls sebagai overlapping consensus, yakni kesepakatan bersama yang dasarnya bukan ajaran atau paham kelompok tertentu, meski mayoritas, tapi merupakan prinsip2 yang diterima sebagai milik bersama, sekaligus mewakili semua pihak. Negara harus bersikap wasit yang netral, tak memihak salah satu paham yang dianut warganya.

Masalahnya jadi runyam kalau ada sekelompok orang yang di satu sisi berada dalam tatanan liberal sebagai “justice as fairness di antara para pesertanya yang free dan equal, tapi di sisi lain menggerus/ menggerogoti basis ideologi tatanan tersebut.

Ambil contoh kampanye pengharaman pemimpin non muslim yang disertai klaim bahwa itulah satu2nya suara Islam yang sah. Dalam tatanan liberal, boleh saja seorang muslim memilih menolak memilih pemimpin non muslim karena dasar agama. Toh orang tak harus menjadi liberal untuk bisa ditampung dalam tatanan liberal.

Tapi menjadi problematis kalau disertai kampanye bahwa muslim yang berbeda dengan mereka adalah orang2 yang menyimpang dari Islam. Karena dari perspektif tafsir Qur’an dan hukum Islam, bisa juga ditarik kesimpulan bahwa larangan semacam itu tidak mutlak tapi situasional, dan bahwa kriteria kepemimpinan  itu bukan iman, tapi keadilan, kompetensi dan amanah. Artinya, kalau ada muslim yang memilih pemimpin yang dia yakini adil, kompeten dan bersih meskipun non muslim, itu sama sekali tak menyimpang dari Islam.

Idealnya, dalam tatanan liberal, keragaman pandangan dalam agama harus diterima sebagai sama2 punya hak untuk hidup. Masing2 punya hak untuk merasa benar, dalam arti secara argumen merasa pandangannya yang valid. Tapi jangan sampai memvonis yang beda dengannya dengan menyerang keimanannya, seperti memberi cap “sesat,” “munafik,” “kafir”, “agamamu apa?”

Di sini Om Awe keliru dalam menangkap poin saya tentang intoleransi. Om Awe mengkritik pemahaman saya tentang intoleransi yang saya kaitkan dengan “menjadikan pandangan keislaman sendiri sebagai tolok ukur keislaman/ keimanan, sehingga yang beda dengannya dianggap menyimpang.” Menurut Om Awe, kalau orang meyakini pandangannya sebagai benar, dengan sendirinya memandang pandangan yang bersebarangan dengannya sebagai salah. Intolerannya di mana, begitu kira2 sanggah Om Awe.

Problem Om Awe: tak bisa membedakan antara ranah epistemologis dengan ranah iman. Pada yang pertama, kriteria benar-salahnya adalah argumen yang bisa diuji secara ilmiah. Sah2 aja kita menyalahkan argumen pihak yang berseberangan dengan kita. Tapi hanya karena argumennya beda tak lantas kita berhak menyebutnya sebagai “munafik, sesat, kafir” bahkan sampai mempertanyakan “agamamu apa?”

Kalau sampai menggungat keimanan orang yang beda dengan kita dan bukan keilmuannya, di situlah letak intoleransi. Inilah yang saya maksud dengan menjadikan pandangan keislaman sendiri  sebagai tolok ukur keimanan. Ironisnya, pelakunya kebanyakan dari mereka yang pengetahuan keislamannya dangkal dan parsial, tapi hobinya memvonis sesat mereka yang beda.

Yang saya cemaskan, di balik itu semua adalah menguatnya anggapan bahwa keislaman yang sejati dan kaffah adalah keislaman yang justru menarik garis pemisah yang tegas dengan non muslim, bahkan dengan yang beda paham keislamannya. Ingat, selain wacana pengharaman pemimpin non muslim, ada juga pengharaman ucapan selamat natal dan hari besar agama lain, gaduh soal buka bersama di gereja, persekusi  terhadap kelompok yang dituduh “sesat”, seperti Syiah dan Ahmadiyah dll.

Ini mengingatkan saya pada keber-Islam-an dalam tatanan darul Islam/ khilafah pra modern, di mana non muslim diperlakukan sebagai dzimmi (warga negara kelas dua) yang tak boleh menjadi pemimpin, minoritas yang dituduh heretic diburu dan ditindas.

Kalau yang seperti ini dijadikan sebagai ukuran ke-kaffah-an dalam ber-islam, berarti tatanan liberal yang didambakan Om Awe mendapat ancaman yang serius, karena yang terjadi adalah pertempuran antara cara berpikir modern yang menjadi dasar faham kebangsaan dan citizenship yang menempatkan warga negara sebagai individu2 yang free dan equal versus cara berpikir abad pertengahan yang menempatkan orang yang beda agama sebagai “the other” dan warga negara kelas dua. Kalau boleh meminjam istilah Bung karno, ini pertempuran antara  cara bepikir  “masyarakat kapal udara,” versus “masyarakat onta.”


Bisakah tatanan liberal bertahan ketika cara berpikir “masyarakat kapal udara” dikalahkan oleh cara berpikir “masyarakat onta”? Kayanya  “hil yang mustahal,” meminjam Asmuni Srimulat. Kalau sudah begini, apakah Om Awe masih menganggap wacana seperti tajdid, kontekstualisasi hukum Islam agar relevan dengan tuntutan zaman, pembaharuan Islam, sebagai agenda yang kontra produktif bagi tegaknya tatanan liberal yang didambakannya?  Wassalam.  

2 comments:

  1. Sorry OTT : Nilai GRE Quantitative Reasoning Bung Sahal berapa ya ?

    ReplyDelete
  2. Casino (2021) » Real money no deposit bonuses and free
    We've made 논산 출장안마 every effort in our casino to get 시흥 출장안마 you to the 통영 출장마사지 point where the 경기도 출장안마 players are entitled to their first deposit bonus. 창원 출장안마 We recommend you to look at the

    ReplyDelete