Tulisan saya di Koran Tempo, “Nabi Palsu, Sikap Nabi dan Ahmadiyah” ditanggapi secara keras oleh Dr. Syamsuddin Arif di Hidayatullah.com dan Ahmad Rofiqi di notes facebook-nya.
( Untuk tulisan saya, lihat: http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/16/kol,20110216-324,id.html
Untuk tulisan Dr. Syamsuddin Arif, lihat: http://www.hidayatullah.com/read/15606/28/02/2011/-menyikapi-%E2%80%98nabi-palsu%E2%80%99-dan-ahmadiyah-%281%29.html
Untuk tulisan Ahmad Rofiqi, lihat:
Juga lihat:
Kedua penanggap tersebut pada intinya menegaskan bahwa gerakan murtad apapun bentuknya harus diperangi dengan tanpa kompromi, dan kaum murtad harus dibunuh. Dr. Syamsuddin Arif mengklaim bahwa sikap Nabi Muhammad SAW dan khalifah Abu Bakr sangatlah tegas dalam memerangi gerakan nabi palsu, baik yang membangun kekuatan militer seperti dalam kasus Musailamah al-Kazzab, maupun yang tidak, seperti kasus al-Aswad al-‘Unsi dan Thulaikhah bin Khuwailid. Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip surat ayat al-Qur’an ( al Ma’idah 33:34) dan hadist: “barang siapa menukar agamanya, maka bunuhlah.”
Senada dengan itu, Ahmad Rofiqi menganggap saya melakukan manipulasi dan distorsi ketika menyitir Tarikh al-Tabari dalam paparan saya tentang korespondensi antara Musailamah dan Rasulullah SAW, karena saya tidak menyertakan pernyataan lisan Rasul kepada utusan Musailamah: “Kalau bukan karena utusan-utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku memenggal leher kalian berdua.” Menurut hematnya, pernyataan lisan Rasulullah tersebut dengan jelas menunjukkan ketegasan sikap Nabi Muhammad dalam memerangi dan membunuh nabi palsu. Rofiqi juga menyatakan bahwa bahwa: (1) Rasul menjelang wafatnya mengirim pasukan untuk menumpas gerakan al-Aswad al-‘Unsi; (2) pidato khalifah Abu Bakr secara tegas menyatakan bahwa gerakan nabi palsu wajib diperangi tanpa terkecuali karena mereka telah keluar dari Islam.
Betulkah tuduhan Rofiqi bahwa saya telah melakukan distorsi dalam mengutip Tarikh al-Tabari? Benarkah klaim-klaim Dr. Syamsuddin Arif dan Ahmad Rofiqi bahwa Nabi dan para sahabat memerangi nabi palsu karena semata-mata karena kemurtadannya?
Untuk menjawab pertanyaan2 tersebut, saya akan memeriksa satu persatu data dan dalil yang mereka ajukan, dengan mengacu langsung pada Tarikh al-Tabari dan sumber-sumber primer lain, selain juga sumber sekunder yang relevan.
A. Musailamah Al-Kazzab:
Bagi Rofiqi, sikap Rasulullah terhadap nabi palsu dan para pengikutnya secara jelas tercermin dari pernyataan beliau yang hendak memenggal kepala utusan Musailamah. Menurut Rofiqi, Rasul tidak membunuh utusan Musailamah semata-mata karena beliau menghormati etika diplomasi yang melarang utusan dibunuh. Dari sinilah Rofiqi menyimpulkan, Rasul dari awal hendak memerangi Musailamah karena telah murtad dari Islam.
Pertanyaan saya: kalau memang sikap Rasul dari awal seperti itu, mengapa beliau tidak mendeklarasikannya secara eksplisit dalam surat balasannya ke Musaylamah, yang justru lebih resmi dan langsung tertuju kepada Mu’awiyah? Mengapa justru hanya melalui pernyataan lesan ke kurirnya? Surat balasan Rasul, seperti saya kutip dalam tulisan saya di Koran Tempo, sama sekali tidak mengandung nada peringatan atau ancaman perang terhadap Musailamah. Rasul hanya menyebutnya al-Kazzab (pendusta).
Satu hal yang diabaikan oleh Rofiqi, Musaylamah tidak semata-mata mengaku Nabi, tapi juga dengan kejamnya telah membunuh seorang sahabat Rasulullah bernama Habib bin Zaid, utusan Nabi yang ditangkap oleh Musailamah saat melakukan perjalanan dari Bahrain ke Makkah. Peristiwa ini direkam dalam Al-Sirah Al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam (Vol. 2 halaman 57):
قال ابن اسحاق: فجمىع من شهد العقبة من الاوس والخزرج ثلاثة وسبعون رجلا وامراءتان منهم...ومن بني مازن بن النجار: نسيبة بنت كعب... وهى ام عمارة, كانت شهدت الحرب مع رسول الله, وشهدت معها اختها. وزوجها زيد بن عاصم بن كعب. وابناها: حبيب بن زىد وعبدالله بن زىد. وابنها حبيب الذي اخذه مسيلمه الكذاب الحنفي, صاحب اليمامة, فجعل يقول له: اتشهد ان محمدا رسول الله؟ فيقول نعم. فيقول: افتشهد اني رسول الله؟ فيقول: لا اسمع. فجعل يقطعه عضوا عضوا حتى مات في يده...
Ibn Ishaq berkata: maka keseluruhan orang yang menjadi saksi ‘aqabah dari suku Aus dan Khazraj ada 37, dua dia ntaranya perempuan. Dari Bani Mazin bin al-Najjar adalah Nusaibah bin Ka’ab..Dan dialah ibu Umarah. Dia dan saudara perempuannya ikut berperang bersama Nabi. Suaminya bernama Zaid bin Ashim bin Ka’b, dan dua putranya adalah Habib dan Abdullah bin Zaid. Musailamah sang pendusta (al-Kadzdzab), pemimpin Yamamah, menangkap Habib bin Zaid dan bertanya kepadanya: apakah kamu bersaksi Muhammad adalah utusan Allah? Habib menjawab ya. Lalu Musailamah melanjutkan, “apakah kamu bersaksi Musailamah adalah utusan Allah? Habib menjawab, saya tidak pernah dengar (tentang itu). Lantas Musailamah memutilasi tubuh Habib sampai dia meninggal.”
Pembunuhan sadis yang dilakukan oleh Musaylamah terhadap Habib bin Zaid ini jelas menandakan adanya aksi makar dari pihak Musaylamah terhadap otoritas Nabi, yang kemudian berkembang menjadi pemberontakan terhadap pemerintahan khalifah Abu Bakr. Ini jelas suatu ancaman serius terhadap pemerintahan pusat di madinah, mengingat Yamamah, dengan lokasi geografisnya yang strategis secara politik dan ekonomi di jazirah Arab, memang sejak awal cenderung “mbalelo” terhadap Madinah. Untuk diketahui, sebelum Musaylamah tampil ke permukaan, Yamamah dipimpin oleh seorang kafir bernama Hawdzah bin ‘Ali. Hawdhah termasuk dalam sejumlah pemimpin yang disurati Nabi untuk diajak masuk Islam. Ini terjadi pasca perjanjian Hudaibiah. Dan respon Hawdzah penuh dengan sikap antipati thd Islam. Ketika Musaylamah tampil menggantikannya, kecenderungan untuk “mbalelo” dari pemerintahan pusat masih kuat tertanam di Yamamah.
Itulah kenapa gerakan Musailamah kemudian ditumpas oleh Khalifah Abu Bakr. Penyebabnya bukan semata-mata karena ia mengaku menjadi nabi, tapi juga membunuh seorang duta Nabi SAW, dan membangun armada militer yang mengancam kedaulatan Madinah.
B. Al-Aswad al-‘Unsi
Dr. Arif dan Rofiqi menyatakan bahwa al-Aswad ibn Ka’b al-‘Unsi dibunuh oleh detasemen khusus yang dikirim oleh Nabi karena ia mengaku jadi nabi. Menurutnya, meski al-Aswad tidak memberontak dan tidak membangun kekuatan militer, ia tetap dibunuh karena telah murtad.
Betulkah demikian? Mari kita periksa Tarikh al-Tabari. Pada halaman 189, Volume 3, Imam al-Tabari bertutur tentang Al-Aswad demikian:
ان اول ردة كانت فى الاسلام باليمن كانت علي عهد رسول الله علي يدي ذي الخمار عبهله بن كعب وهو الاسود في عامة مذحج خرج بعد الوداع كان الاسود كاهنا شعباذا و كان يريهم الاعاجيب ويسبي قلوب من سمع منطقه وكا ن اول ما خرج ان خرج من كهف خبان وهى كانت داره وبها ولد ونشاء فكاتبه مذحج ووعده نجران فوثبوا بها واخرجوا عمرو بن حزم وخا لد بن سعيد العاص وانزلوه منزلهما ووثب قيس بن عبد يغوث يلي فروه بن مسيك وهو على مراد فاجلاه ونزل منزله ولم ينشب عبهله بنجران ان سار الي صنعاء فاخذ ها وكتب بذالك الي النبي من فعله ونزوله صنعاء وكان اول خبر وقع به عنه من قبل فروه بن مسيك ولحق بفروه من تم علي الاسلام من مذحج وكانوا بالاحسية ولم ىكاتبه الاسود ولم يرسل اليه لانه لم يكن احد ىشاغبه وصفا له ملك اليمن.
“Kemurtadan dalam Islam terjadi pertama kali di Yaman ketika Rasululullah SAW masih hidup, yakni oleh Dzu al-Khimar Abhahah bin Ka’b ( al-Aswad) di tengah khalayak Madzhij, setelah haji Wada.’ Al-Aswad adalah seorang dukun; dia acapkali mempertontonkan hal2 ajaib, memikat hati para pendengar pembicaraannya. Pertama kali dia mengaku jadi Nabi saat muncul dari gua Khubban, tempat dia lahir dan dibesarkan. Madzhij berkorespondensi dgn Al-Aswad, menjanjikan tanah Najran utknya. Mereka berdua lalu menyerang Najran dan mengusir ‘Amr bin Hazm dan Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash (yang diangkat Nabi sebagai penguasa Najran, AS), dan al-Aswad tampil sebagai penggantinya. Qays bin Abd. Yaghuts menyerang dan mengusir Farwah bin Musayk (deputi Nabi) di Murad, dan menempatkan al-Aswad sebagai penggantinya. ‘Abhalah al-Aswad tidak hanya berhenti di Najran tapi juga menguasai San’a.’ (huruf tebal dari saya, AS). Berita tentang kemunculan al-Aswad dan tindakannya merebut San’a’ tersebut akhirnya sampai ke telinga Nabi SAW. Itulah berita pertama yang diterima beliau dari Farwah bin Musayk. Orang2 Madzhij yang masih setia pada Islam lalu bergabung dengan Farwah, dan mereka berada di al-Ahsiyyah. Al-Aswad tidak mengontak Farwah dan tidak mengirimkan kurir, karena dia merasa Farwah tidak menjadi ganjalan buatnya. Al-Aswad menguasai Yaman secara utuh.”
Masih dalam kitab yang sama, al-Tabari menyatakan bahwa al-Aswad membunuh gubernur Yaman, putera Badham yang diangkat oleh Nabi untuk menjadi gubernur wilayah Yaman. Bukan hanya itu, Aswad juga merebut istri sang raja yang dibunuh tersebut (Tarikh al-Tabari 3:218).
Data lain tentang Al-Aswad juga bisa kita temukan dalam Al-Sirah Al-Nabawiyah karya Ibn Hisyam (w.312 H/834). Pada halama 189, Volume IV, Ibn Hisyam memaparkan perkataan Ibn Ishaq tentang betapa Al-Aswad melakukaan penyerangan terhadap delegasi yang ditugaskan Nabi untuk memungut shodaqoh/zakat di pelbagai wilayah Arab yang sudah dikuasai Islam. Coba simak kutipan berikut:
قال ابن اسحاق: وكان رسول الله صلي الله عليه وسلم قد بعث امراءه وعماله علي الصدقات الي كل ما اوضاء الاسلام من البلدان. فبعث المهاجر بن ابي امىه المغىره الى صنعاء. فخرج عليه العنسى وهو بها. وبعث زىاد بن لبيد اخا بنى بياضة الانصاري الي حضرموت وعلى صدقاتها, وبعث عدي بن حاتم على طيء وصدقاتها وعلي بنى اسد, وبعث مالك بن نوىزه—قال ابن هشام: الىربوعي—علي صدقات بني حنظلة. وفرق صدقة بنى سعد على رجلىن منهم. فبعث الزربقان بن بدر على ناحية منها وقيس بن عاصم علي ناحىة . وكان قد بعث العلاء بن الحضرمى على البحرين. وبعث علي بن ابي طالب الي اهل نجران ليجمع صدقتهم وىقدم علىه بجزىتهم.
Ibn Ishaq berkata: “Nabi mengirim sejumlah gubernur dan agen beliau untuk memungut dan mengumpulkan zakat ke segenap penjuru tanah Arab yang sudah dikuasai Islam. Beliau mengirim al-Muhajir bin Umayyah bin al-Mughira ke San’a, dan al-Aswad al-‘Ansi tampil menyerangnnya ketika ia berada di sana (huruf tebal dari saya, AS). Beliau mengirim Ziyad bin Labid, saudara Bani Bayadha al-Anshari ke Hadramaut. Nabi mengirim Adiy bin Hatim ke Tayyi dan Bani Asad; Malik bin Nuwairah al-Yarbu’I ke Bani Hanzala. Beliau membagi tugas penarikan zakat dari Bani Sa’d ke dua orang: Zibriqan bin Badr dan Qays bin Ashim, masing2 bertanggungjawab dgn bagiannya. Nabi juga mengirim al-Ala’ bin al-Hadrami ke Bahrain, dan Ali bin Abu Thalib ke penduduk Najran untuk mengumpulkan zakat mereka dan membawa ke Nabi jizyah mereka.”
Penting untuk dicatat, paparan Ibn Hisyam tentang laporan Ibn Ishaq tersebut adalah dalam konteks pembahasannya tentang fenomena munculnya dua Nabi palsu: Musailamah dan al-Aswad. Dari situ bisa disimpulkan sekurang-kurangnya dua hal: gejala kemunculan nabi palsu pada masa itu sangat erat kaitannya dengan gerakan pembangkangan terhadap pembayaran Zakat, yang sudah berlangsung semenjak masa Nabi, dan semakin membesar pada masa khalifah Abu Bakr. Kedua, al-Aswad al-‘Unsi jelas jelas melakukan penyerangan terhadap delegasi Nabi bernama al-Muhajir bin Umayyah bin al-Mughirah.
Dari tiga bukti tekstual tentang al-Aswad yang saya paparkan di atas, jelas bahwa nabi palsu Al-Aswad Al-‘Unsi dan pengikutnya ditumpas bukan semata-mata karena murtad, tapi karena al-‘Unsi melakukan makar: menyerang agen pengumpul zakat dan membunuh gubernur yang dua-duanya diangkat Nabi Muhammad. Ini sekaligus memuktikan bahwa klaim Dr. Arif dan Dr. Rofiqi tentang Al-Aswad sama sekali keliru.
C. Tulaikhah bin Khuwailid
Dr. Syamsuddin Arif menyebut kasus Thulaikhah bin Khuwailid sebagai contoh nabi palsu yang tetap diperangi oleh Nabi dan para Khalifah-nya meski dia tidak membangun kekuatan militer.
Betulkah begitu? Tarikh al-Tabari Volume 3 halaman 232 ternyata secara telak meruntuhkan klaim Dr. Arif tersebut. Al-Tabari menulis:
فلم ىعد ان انهزموا فاقروا جميعا بالاسلام خشية علي الذراري واتقوا خالدا بطلبته واستحقوا الامان ومضي طليحه حتى نزل في كلب علي النقع واسلم ولم ىزل مقىما في كلب حتي مات ابو بكر وكان اسلامه هنالك حين بلغه ان اسدا وغطفا ن وعامرا قد اسلموا ثم خرج نحو مكة معتمرا في امارة ابي بكر ومر بجنبات مدينة فقيل لابي بكر هذا طليحة فقال ما اصنع به خلوا عنه فقد هداه الله للاسلام ومضي طليحة نحو مكة فقضي عمرته ثم اتي عمر الي البيعة حىن استخلف فقال عمر انت قاتل عكاشه وثابت والله لا احبك ابدا فقال ىا امير المؤمنين ماتهم من رجلين اكرمهما الله بيدي ولم ىهني بايديهما فبايعه عمر ثم قال له ىاخدع ما بقي من كهانتك نفخة او نفختان بالكير ثم رجع الى دار قومه فاقام بها حتى خرج الى العراق
Tidak lama setelah ditaklukkan, nabi palsu dan sejumlah pengikutnya kembali memeluk Islam karena cemas akan nasib keturunan mereka, dan karena melindungi diri mereka sendiri dari Khalid bin Walid dengan cara memenuhi tuntutannya. Dengan begitu mereka mendapatkan jaminan keamanan. Thulayhah bin Khuwailid pun bertahan dgn cara itu. Dia pindah tempat di kalangan Kalb di Naqa,’ memeluk Islam dan tetap berdiam di sana sampai Abu Bakr wafat. Dia kembali ke Islam lagi setelah tahu bahwa Asad, Ghothfan, dan ‘Amir juga kembali ke Islam lagi. Lalu Thulayhah pergi ke Makkah untuk menjalankan umrah dengan melewati Madinah. Saat itu Khalifah Abu Bakr RA masih hidup. Sang khalifah diberi tahu kalau Thulayhah sedang di Madinah, tapi beliau hanya menjawab, “Saya mesti berbuat apa ke dia? Biarkan saja, toh Allah sudah memberinya petunjuk utk kembali ke Islam.” Thulayhah akhirnya bisa menuju ke Makkah dan ber-umrah. Lalu pada saat Umar bin al-Khattab menjadi khalifah, Thulayhah datang untuk menyatakan sumpah setia ke Umar. Lalu ‘Umar bilang ke Thulayhah, “kamu pembunuh ‘Ukkasyah dan Tsabit, demi Tuhan, aku sama sekali tidak suka kamu.” Mendengar itu, Thulayhah menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, mengapa engkau risau dengan dua orang yang justru dimuliakan oleh Allah di akhirat lantaran perbuatanku, sementara Allah tidak menghinakan daku melalui tangan mereka berdua?” Akhirnya ‘Umar menerima sumpah kesetiaan Thulayhah. Lalu ‘Umar bertanya, “hai mantan nabi palsu, apa yang masih tersisa dari keahlian dukunmu?” Jawab Thulaihah, “satu atau dua tiupan pada alat peniup.” Setelah peristiwa tersebut, Thulayhah kembali ke wilayah suku asalnya dan tetap berada di sana sebelum menuju Irak.
Kutipan di atas menarik karena menggambarkan bagaimana Abu Bakr dan Umar bin al-Khattab memberi kesempatan kepada nabi palsu Thulaikhah bin Khuwailid untuk kembali memeluk Islam dan bahkan dibiarkan melakukan ‘umrah. Patut diingat, Thulaikhah bukanlah nabi palsu yang tidak punya pasukan militer. Ketika digempur pasukan Islam pimipinan Khalid bin Walid, Thulaikhah berhasil membunuh sahabat dekat Nabi, Ukkasyah bin Mihsan. Tapi Thulaikhah lolos. Dalam keadaan terdesak dan tidak punya kekuatan menyerang, Thulaikhah kemudian masuk Islam.
Kalau memang kemurtadan langsung diganjar dengan hukuman mati seperti ditegaskan Dr. Arif dan Rofiqi, Khalifah Abu Bakr tentu tidak akan memberi kesempatan orang seperti Thulaihah bin Khuwailid untuk kembali ke Islam--apalagi masuk Islamnya demi alasan keamanan, seperti dinyatakan al-Tabari--, tapi langsung memenggalnya. Tapi nyatanya Thulaikhah dibolehkan masuk Islam lagi. Artinya apa? Seorang murtad yang tidak melakukan penyerangan dan pemberontakan terhadap umat Islam tidak lantas dikenai hukuman mati. Pintu tobat tetap terbuka baginya, seperti kasus Thulaikhah. Lagi-lagi pendapat Dr. Arif dan Rofiqi terbantahkan.
(Bersambung ke bagian 2)
saya heran, orang semoderat Dr Din Syamsudin, (dan teman2nya itu) kok bisa seekstrim itu yah tanggapannya. nggak mungkin kan beliau nggak baca argumen2 ini. menurut saya ada dua kemungkinan latar belakang respon mereka:
ReplyDelete1. mereka nggak memeriksa dg teliti argumen2 itu.
2. mereka tau dalil itu, tapi hati mereka telah diliputi kebencian. akhirnya sikap mereka jadi jauh dari kebijakan. menurut saya kemungkinan kedua lebih mendekati kebenaran.
Mas, bukan Dr Din Syamsudin, tetapi Dr Syamsudin Arif....
ReplyDeleteDin Syamsudin jg nggak jauh beda.
ReplyDeleteOh iya yg bagian 2 mana ya?
bung dildaar, insya allah bagian duanya kuposting ntar mlm, bagian ketiga bessoknya. thanks
ReplyDeleteTanggapan balik yang sangat telak, Mas Ahmad. Saya teringat dengan artikel yang dulu direkomendasikan di FB. Saya semakin setuju, hanya kemurtadan yang dibarengi dengan upaya pemberontakan dan makar terhadap komunitas Muslim yang secara hukum bisa diperangi. Kalau sekedar murtad dan kemurtadan itu tdk menimbulkan disintegrasi umat, tdk boleh dibunuh. Anehnya, dari mana sumber common sense umat bhw kemurtadan tidak lain hukumannya kecuali dibunuh ya?
ReplyDeletebung wahyuddin, tengkyu atas komentarnya. saya juga heran dan sedih, dari mana sumber kebencian yang begitu meluas itu?
ReplyDeleteutk bung dildar dan temen2, bagian kedua barusan ku-posting. thanks
Memang membaca teks klasik tidak dapat sepenggal. Apalagi tanpa melhat konteksnya. Pasti akan bias, terlebih dengan motif tafsiran yg sdh dipersiapkan.
ReplyDeleteUrusan Iman tanyakan pd hati masing2. Urusan amal baru kita lihat scr jamaah, krn itulah yg terlihat (zawahir). Jgn2 kita sibuk mengadili iman org, tp amal kita blm sebanding dg amal org yg imannya kt hakimi.
Dg tulisan ini Mas Sahal meneguhkan posisinya sbg Juara Pertama Pembaca Kitab Kuning dalam ajang Lomba Baca Kitab Kuning yang pertama dan sekaligus terakhir di Kampus IAIN Syahid Jakarta tempo dulu. Mantab Mas.
Sepakat dgn Andi. lomba kitab kuningnya perasaan baru kemaren. ternyata udah tempo dulu ya :)
ReplyDeleteBrilliant, Mas Akhmad Sahal. Kalau mau yang simple, Iblis adalah makhluk Allah yang dulunya sangat taat. Walaupun kemudian ia ingkar, Allah tetap membiarkannya HIDUP, bahkan permintaannya untuk menyesatkan bani Adam disetujui. Yang kedua, kalaupun Ahmadiyah benar-benar murtad, sama dong dengan Iblis/Syetan. Solusi terbaik menurut saya, Anggap saja Ahmadiyah syetan yang sesat dan menyesatkan. Jadi Kita yang harus kuat-kuat membentengi diri dengan keimanan yang sejati agar tidak terbawa ajaran-ajarannya, bukannya malah menghancurkan dan membunuh mereka. Bukannya syetan akan tetap ada dan tetap mengajak muslim untuk berpaling dari Islam sampai akhir kehidupan dunia ini!
ReplyDeletePermisi, pak Ahmad Sahal. Saya ingin mendiskusikan artikel Anda ini. Saya melihat argumentasi-argumentasi yang Anda bangun adalah argumentasi yang lemah. Hukum untuk orang murtad yang tidak mau bertobat telah jelas berdasarkan sabda Nabi: man baddala diinahu faqtuluuhu. Sabda Nabi tersebut tidak bisa dibatalkan dengan pernyataan Anda:
ReplyDelete[kalau memang sikap Rasul dari awal seperti itu, mengapa beliau tidak mendeklarasikannya secara eksplisit dalam surat balasannya ke Musaylamah, yang justru lebih resmi dan langsung tertuju kepada Mu’awiyah? Mengapa justru hanya melalui pernyataan lesan ke kurirnya? Surat balasan Rasul, seperti saya kutip dalam tulisan saya di Koran Tempo, sama sekali tidak mengandung nada peringatan atau ancaman perang terhadap Musailamah. Rasul hanya menyebutnya al-Kazzab (pendusta).]
Sebab tidak ada kewajiban bagi beliau untuk mengulang-ulang sabda tentang dibunuhnya orang murtad.
bung Amhar, harap baca juga bagian kedua dan ketiga tulisan saya. saya menanggapi hadits itu di bagian ketiga
ReplyDeleteriwayat yang perlu diketahui, dipahami dan dimengerti dg mata serta hati terbuka, sptinya bnyak dri umat yg tdk mlihat dri sudut pandang ini, mngkin krn ktdk tahuan/tdk paham/kdangkln akal shg tdk mau mngerti, artikelnya sngat bermanfaat pak, ijin copas, thanks
ReplyDelete